Logistik surat suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta telah siap didistribusikan ke kelurahan di Jakarta dan siap digunakan untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta putaran kedua 19 April 2017. AKTUAL/Munzir

Pangkalpinang, Aktual.com – Pilkada Ulang Kota Pangkalpinang 2025 sedang menuju klimaksnya. Setelah pengalaman mengejutkan di 2024, ketika pasangan calon tunggal Maulana Aklil alias Molen kalah telak oleh kotak kosong, pemilih kini disuguhi lebih banyak pilihan. Empat pasangan calon resmi telah mendaftar, membawa visi, pengalaman, dan tentu saja: strategi perebutan suara.

Namun menariknya, tak satu pun dari keempat pasangan ini yang tampil dominan. Survei terbaru Elekta Research Center bersama Universitas Pertiba menunjukkan hasil yang rapat. Molen memimpin dengan 22,2%, diikuti Basit Cinda (15%), Prof. Saparudin atau Prof. Udin (12,3%), sementara kandidat independen seperti Eka Mulya dan Sopian menyusul di bawah 10%.

Yang lebih mencengangkan, sebanyak 48% responden menyatakan belum menentukan pilihan. Artinya, permainan belum berakhir. Dan dalam kontestasi yang masih cair ini, medan laga sejatinya bukan cuma soal program unggulan, melainkan pertarungan antara kekuatan figur versus mesin partai.

Ketika Figur Tak Berbanding Lurus dengan Koalisi

Dari sisi dukungan politik, Prof. Udin jelas unggul. Ia didukung oleh koalisi gemuk berisi enam partai besar: PDIP, PKB, PAN, Demokrat, PPP, dan PKN. Secara kalkulasi politik, kekuatan ini mestinya menjadikan dia sebagai calon paling siap secara struktural. Namun faktanya, elektabilitasnya masih berada di urutan ketiga.

Meski demikian, bahwa Koalisi besar tidak selalu setara dengan kekuatan elektoral. Sering kali mesin partai hanya hidup di atas kertas, tapi tidak sampai menyentuh lapisan TPS dan dapur warga. Pilkada Jakarta membuktikannya.

Dengan demikian tantangan Prof. Udin sebagai kandidat yang diusung koalisi gemuk bukan pada visi, tapi pada implementasi komunikasi dan pengorganisasian politik.

Banyak partai pengusung seperti PPP dan PKN, secara infrastruktur di lapangan belum kuat. Ada juga kasus ketika pengurus partai tingkat bawah bahkan tidak tahu siapa calon yang mereka usung. Ini menjadi catatan penting, bahwa kekuatan di atas kertas tidak bisa menggantikan kehadiran langsung di tengah rakyat.

Di sisi lain, Prof. Udin memang datang dari dunia akademik. Dia dikenal sebagai teknokrat yang menawarkan narasi berbasis tata kelola, pembangunan kawasan industri, dan konektivitas laut global via ALKI 1. Namun, isu seperti ini tak selalu resonan di telinga warga biasa yang sehari-hari bergelut dengan mahalnya sembako dan rendahnya upah kerja non-formal.

Sebaliknya, Molen yang sempat ditolak lewat kotak kosong justru masih bertengger di puncak survei. Dia didukung tunggal oleh Gerindra, tanpa koalisi gemuk. Namun Molen punya jaringan birokrasi lama, basis loyalis, dan masih dominan di media lokal. Ini membuktikan bahwa kekuatan figur populis masih bekerja efektif di medan pilkada kota.

Basit Cinda tampil sebagai penantang baru dengan mesin partai solid dari NasDem dan Golkar. Ia menggandeng Ustaz Dede Purnama, tokoh muda religius yang kuat di komunitas masjid dan pesantren. Koalisi ini tampak rapi, bergerak lewat pengajian, bazar rakyat, hingga blusukan ke pasar-pasar tumpah. Strategi mereka terlihat fokus dan terukur—bukan berisik, tapi mengakar.

Adapun kandidat independen seperti Eka Mulya dan Sopian memang belum menonjol dalam angka, tapi mereka menyasar celah: pemilih yang antipati pada partai besar. Mereka bergerak luwes, masuk ke komunitas pemuda, pengemudi ojol, dan kelompok pedagang informal.

Akar Elektabilitas

Data survei juga mengungkap bahwa tingginya jumlah swing voters menunjukkan satu hal, warga masih menunggu alasan emosional untuk menjatuhkan pilihan. Dalam ruang ini, figur yang bisa menyentuh persoalan konkret seperti lapangan kerja, harga bahan pokok, dan layanan BPJS justru punya peluang besar.

UMR Pangkalpinang yang mencapai Rp3.876.600—tertinggi kedua di Indonesia, tak sebanding dengan penghasilan nyata pekerja informal.

“Di lapangan, gaji pekerja kafe atau buruh harian hanya separuh dari UMR,” kata Prof. Udin dalam wawancara eksklusif bersama Aktual.com. Ia menyebut prioritas programnya adalah memperbanyak puskesmas 24 jam dan meningkatkan mutu pendidikan SMP yang saat ini timpang.

Tapi kembali, gagasan itu perlu disampaikan dengan narasi yang membumi. “Masyarakat tak butuh retorika panjang. Mereka mau kepastian bisa makan, kerja, dan berobat,” ujar Deni Kurniawan, analis komunikasi politik lokal.

Sementara itu, Molen memainkan citra keberlanjutan, yaitu melanjutkan program lama meski tak luput dari sorotan. Sedangkan Basit membidik ceruk pemilih yang kecewa terhadap dua kutub besar, petahana dan partai besar.

Karena itu, dalam kompetisi yang tipis ini, yang menentukan bukan hanya siapa yang punya gagasan terbaik, tapi siapa yang bisa memenangkan ruang perasaan rakyat.

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto