Kondisi perekonominan suku Cham di Kamboja belum begitu baik. Mayoritas mata pencaharian mereka adalah petani, buruh, dan nelayan. Biaya hidup yang tinggi di Kamboja dan menjadi etnis minoritas membuat suku Cham dalam kondisi yang perlu dibantu. Masyarakat Kampong Cham sangat mendukung bantuan pembangunan madrasah ini, bahkan mereka menunggu bantuan termasuk dari Indonesia.

Bagus menegaskan dengan membantu warga di luar negeri tidak akan membuat dirinya lupa untuk membantu di dalam negeri. Hal ini bisa menjadi penghubung persahabatan antar dua negara, mengingat bantuan paling banyak pada muslim di Kamboja berasal dari Negara Timur Tengah dan Malaysia. Bagus mengatakan ini saatnya warga Indonesia ikut membantu.

“Jadi tugas kita adalah untuk peduli dengan isu pendidikan dan sosial, kalau menunggu orang lain membantu warga muslim di Kamboja mungkin bisa tiga atau empat tahun lagi, selagi kita masih mengambil peran kebaikan ayo kita saling berlomba dalam kebaikan,” kata Bagus.

Berawal dari hobi Bagus, Kays, Ghazaly, dan Majid yang suka jalan-jalan atau “backpacker” saat itu mereka sedang mengikuti kegiatan konferensi tentang pertanian yang berkelanjutan di Bangkok, Thailand dan memutuskan untuk keliling beberapa negara ASEAN. Tidak ingin hanya sekedar jalan-jalan dan bersenang-senang, Bagus serta ketiga temannya mulai berinisiatif untuk membantu orang secara konkret.

Pada bulan Januari, Bagus dan ketiga temannya mencari sasaran masyarakat negara yang paling membutuhkan bantuan. Hasil diskusi mereka jatuh ke Kampong Cham, Kamboja dengan alasan warga muslim minoritas di Kampong Cham, Kamboja dalam kondisi yang perlu dibantu.

Bagus berharap proses pembangunan madrasah ini berjalan dengan lancar dan mampu mengatasi kendala sampai bangunan madrasah berdiri kokoh.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Eka