Epos Kepemimpinan” adalah artikel inspiratif digubah oleh Yudi Latif, seorang cendikiawan muslim.

Saudaraku, di tengah keriuhan kontes kekuasaan yang semakin memanas, ada baiknya kita menoleh pada buku Bhagawad-Gita (Simfoni Ketuhanan) — bagian terpendek tetapi paling disukai dari epik Hindu, Mahabarata.

Kisah utamanya berpusat pada pendekar muda, Arjuna, yang dilanda keraguan dan enggan untuk terlibat dalam perang Baratayuda antara Pandawa dan Kurawa, karena yang akan ia lawan (pihak Kurawa) adalah sepupunya sendiri.

Pada momen krusial tersebut, Arjuna meminta nasihat dari Dewa yang menjelma dalam sosok Kresna, sang sais kereta kuda.

Respons Kresna bukanlah apa yang diharapkan Arjuna, tetapi berisi ajaran tentang bagaimana alam semesta berfungsi dan pendekatan terbaik dalam hidup.

Kisah ini harus dimaknai secara alegoris tentang kelayakan tindakan, dengan memperkenalkan konsep karma dan dharma.

Kedewasaan seseorang tercermin dari kesediaannya mengakui kehadiran kejahatan dan kengerian, bukan dalam arti menyetujuinya, melainkan menerima sebagai bagian dari kehidupan.

Segala sesuatu ada bukan tanpa sebab, termasuk alasan untuk melawannya.

Karena kita hidup, kita tak bisa menghindari bertindak dengan semua konsekuensinya — sebagai karma. Dalam bertindak, ada pedoman.

Ada tindakan yang didasari keinginan (desire), ada juga tindakan yang dilandasi kesadaran untuk tujuan yang mulia (purpose) — sebagai dharma.

Jika berdasarkan pada keinginan, Arjuna bisa mundur dari medan perang. Namun, Kresna menasehatinya untuk “berperang dengan niat yang baik”:

“Tunaikan kewajibanmu, jangan memperhitungkan konsekuensinya”.

Ini adalah kewajiban, tujuan moral, dan jalan dharma Arjuna. Lawan tetap akan datang, dan Arjuna hanyalah alat ketuhanan bagi karma.

Dalam bertindak, ada motivasi spiritual yang menentukan esensi kehidupan: Tama (kegelapan), Raja (api), dan Sattva (cahaya).

Tama mencerminkan tindakan berdasarkan ketidaksadaran dan kepasifan yang mempertahankan kehidupan secara tidak beradab.

Raja mencerminkan kepentingan dan ambisi dari kalangan medioker yang bertindak untuk mengakumulasi dan meningkatkan pencapaian pribadi.

Sattva mencerminkan kesadaran dan kemurnian, bertindak dengan ketenangan sebagai wujud dharma pelayanan, tanpa dibebani harapan atas hasil dan penghargaan.

Dharma yang mulia bertindak dengan dorongan Sattva.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan