Ternyata tidak lama setelah DPP PDI Perjuangan mengumumkan secara resmi Eri Cahyadi sebagai calon Walikota Surabaya, muncul audio rekaman yang memperdengarkan percakapan bahwa Eri memberikan mahar sebesar 50 Miliar untuk mendapatkan rekomendasi itu.
Tentu ini menjawab rasa penasaran kita, mengapa yang mendapatkan rekomendasi bukan nama-nama yang mendaftar itu, melainkan Eri Cahyadi.
Bisa dibayangkan jika mahar 50 miliar itu benar, pasti ada cukong-cukong, pengusaha dan orang konglomerat yang menyokong Eri Cahyadi. Mantan Bappeko tidak mungkin setajir itu bisa memberikan mahar besar tersebut. Pasti sudah terjadi kongkalikong dan deal-deal politik serta bagi-bagi kue jika nanti Eri Cahyadi terpilih sebagai walikota.
Dengan biaya puluhan miliar itu, dapat dipastikan Eri Cahyadi tidak akan menjadi pemimpin yang tegak lurus. Mengawali pencalonan pilkada saja sudah dengan cara yang kurang terhormat, apalagi nanti jika terpilih.
Efek Panas Mahar Politik
Efek panas mahar politik tidak sederhana. Mahar politik akan menghasilkan kesepakatan semu antara pemberi donasi dan penerima donasi. Pada banyak kasus, masih ada beberapa hal yang harus dipenuhi sang calon sebagai tindakan balas budi jika berhasil keluar pemenang pemilu.
Jika praktik itu melibatkan korporasi atu cukong sebagai donatur sang calon, misalnya. Maka akan tercipta efek domino yang saling menguntungkan antara calon, parpol dan korporasi, namun sangat merugikan keuangan negara dan kedaulatan rakyat.
Banyak pakar hukum dan pakar politik menuding mahar politik sebagai biang dari maraknya kasus korupsi kepala daerah. Biaya politik yang tinggi akan membuat kepala daerah terpilih sibuk mengembalikan modal sepanjang masa jabatannya. Kepentingan rakyat akan tergadaikan oleh konsentrasi mengembalikan hutang pribadi yang digunakan sebagai modal pencalonan.
Gaji seorang walikota selama lima tahun pun tidak akan pernah cukup untuk mengembalikan modal miliaran rupiah yang dihabiskan selama masa kampanye, ditambah dengan keharusan membayar hutang mahar itu. Kalau hanya mengandalkan gaji dan tunjangan walikota, pasti tidak cukup. Mengingat, Eri Cahyadi bukanlah pengusaha atau konglomerat, ia hanya mantan Bappeko yang “beruntung” karena dianakemaskan oleh Risma.
Sebagai pemilih cerdas, kita perlu memikirkan efek panas mahar politik itu bukan?
Oleh Taufikurrahman
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid