Jakarta, Aktual.com — Lobby PT. Freeport Indonesia (PT FI) kepada pemerintah Indonesia untuk meloloskan ekspor konsentrat dan bahkan memuluskan perpanjangan kontrak hinggga pasca tahun 2021, kelihatannya akan berhasil tanpa kendala dengan jalan merevisi Undang-Undang Minerba No 4 tahun 2009.
Sejauh ini pemerintah melalui Dirjen Minerba dan Komisi VII DPR-RI telah melakukan rapat dan bersepakat merevisi UU tersebut. Mereka beralasan bahwa UU tersebut banyak masalah dan terjadi tumpang tindih baik dengan PP maupun dengan Permen.
Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Energi Watch Indonesia (EWI), Ferdinand Hutahaean mengaku heran dengan argumen konyol dari pembuat kebijakan. Secara hirarki yuridis, PP dan Permen berada dibawah UU, sehingga seharusnya PP dan Permen menyesuaikan UU, bukan sebaliknya.
“Logika tidak waras yang dipakai oleh anggota Dewan yang menyatakan UU harus direvisi karena tumpang tindih dengan PP, Lihat dulu dong hirarki UU, kemudian mana yang lebih dulu lahir? UU atau PP? Kenapa anggota DPR jadi bodoh begitu?” Tulisnya melalui pesan elektronik kepada Aktual.com, Rabu (3/2).
Sebelumnya ketua komisi VII DPR, Gus Irawan Pasaribu mengatakan saat usai rapat dengan Dirjen Minerba di kantor Ditjen Minerba jln supomo, Jakarta, Senin (1/2) bahwa, ada persoalan tumpang tindih turunan yang ada di PP dan Permen, persoalan itu akan diselesaikannya melalui revisi UU.
“Jadi ada persoalan tumpang tindih turunannya yang ada di PP dan Permen, dan itu kita inventarisir nantinya selesaikan melalui revisi UU,” jelasnya.
Selain itu, pada kesempatan yang berbeda, Selasa (2/2) di Balai Kartini, Menteri ESDM, Sudirman Said mengatakan hal yang sama bahwa ada terjadi tumpang tindih dengan PP.
Sebagaimana diketahui bahwa kewajiban membangun smelter merupakan implementasi dari perintah UU No 4 tahun 2009 agar melakukan pemurnian terhadap barang galian dalam upaya memberi nilai tambah bagi negara, dengan demikian tidak diperbolehkan ekspor konsentrat atau barang mentah.
Sesuai bunyi UU No 4 tahun 2009 pasal 170 berbunyi “Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan”.
Artinya, sejak UU tersebut ditetapkan tahun 2009, seharusnya Freeport telah memenuhi perintah UU dan membangun smelter dalam rangka pemurnian barang galian, paling lambat tahun 2014.
Namun hingga saat ini pembangun smelter belum menunjukkan progres yang memadai, dan Freeport melakukan lobby terhadap pemerintah.
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Eka