Angka tersebut merupakan yang terburuk sejak Juli 2016 atau 15 bulan terakhir. Sementara, utang jatuh tempo yang harus dibayar pemerintah dalam dua tahun ke depan mencapai Rp 810 Triliun.

“Seharusnya (utang jatuh tempo) mendorong pemerintah untuk menyiapkan sejenis protokol krisis ekonomi. Sebab, untuk membayar utang yang jumlahnya besar tersebut, selain harus membuat utang baru, dalam realisasinya pemerintah biasanya akan memangkas belanja kementerian/lembaga dan memotong subsidi, yang pasti akan mendorong terjadinya kontraksi ekonomi.” papar Waketum Partai Gerindra ini.

Selain nilai tukar rupiah, Fadli Zon pun menyoroti target defisit yang dipatok pemerintah dalam APBN 2018. Besaran defisit pada APBN 2018, misalnya, hanya dipatok 2,19 persen dari PDB, atau hanya sebesar Rp 325,9 triliun.

Angka ini disebut Fadli lebih rendah dari defisit yang dipatok pemerintah dalam APBN 2017 dan APBN-P 2017. Dalam APBN 2017, pemerintah menargetkan defisit sebesar Rp 397,2 triliun, sedangkan dalam APBN-P 2017, persentasenya telah dinaikkan ke level 2,92 %.

“Itu baru asumsi untuk tahun berjalan. Dalam realisasinya, tahun ini defisit APBN bahkan bisa mencapai 3,62 % terhadap PDB. Itupun dengan asumsi jika pos penerimaan pajak bisa terealisasi hingga 85 persen hingga akhir tahun ini. Padahal, hingga September 2017, baru mencapai 60 %,” jelasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan
Andy Abdul Hamid