Jadi, kata dia, nasionalisme Indonesia merupakan hasil pertemuan sekaligus bentuk evolusi lebih lanjut dari etno-nasionalisme dan yang didasarkan agama.

“Karena itu, jika pada hari ini kita menengarai ada elemen bangsa yang ingin bergerak ke arah sebaliknya, kembali pada etno-nasionalisme, tentu harus diingatkan, dan bila perlu diperingatkan. Itu seperti menarik mundur sejarah dan mengkhianati perjuangan para pendiri Republik.”

Di sisi lain, Fadli melanjutkan, Boedi Oetomo memang pantas dijadikan tonggak penting, karena organisasi ini melakukan kritik terhadap kesenjangan dan ketidakadilan, meskipun pemerintah kolonial telah menerapkan Politik Etis. Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial dianggap bermasalah, karena sesudah Politik Etis berjalan kurang lebih tujuh tahun, kondisi masyarakat pada kenyataannya tak banyak berubah. Pendidikan mereka tetap rendah, dan apalagi kesejahteraannya. Itu sebabnya mereka kemudian melakukan penggalangan dana untuk memajukan pendidikan kaum Bumiputera.

Sehingga, pelajaran penting lainnya, lahirnya etno-nasionalisme pada awal abad ke-20, yang kemudian menjadi perlawanan terhadap pemerintah kolonial, terutama didorong oleh merajalelanya ketidakadilan, baik ekonomi, hukum, politik, maupun sosial.

“Sesudah kita merdeka, hal serupa juga pernah mendorong lahirnya gerakan separatisme, baik di masa pemerintahan Soekarno maupun di masa Orde Baru. Ini sekaligus mengajarkan kepada kita bahwa nasionalisme memang harus diikat oleh keadilan ekonomi, keadilan politik, keadilan hukum, dan keadilan sosial. Tanpa keadilan, tak akan ada nasionalisme.”

“Itu sebabnya di Hari Kebangkitan Nasional tahun 2017 ini kita punya dua catatan. Pertama, jangan pernah menarik mundur semangat Kebangkitan Nasional. Kedua, untuk merawat semangat kebangsaan, pemerintah jangan pernah memperjudikan rasa keadilan masyarakat, karena mahal sekali harga yang kita pertaruhkan.”

Laporan: Nailin in Saroh

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid