Sebagai pembanding, menurut aturan keprotokolan, pimpinan DPR dalam kunjungan muhibah juga diperbolehkan membawa serta isteri atau suami, atas biaya negara, namun dalam praktiknya fasilitas itu jarang sekali digunakan. Dan fasilitas itupun khusus muhibah, karena dalam kunjungan kerja lainnya, fasilitas itu tidak diberikan.
Memang, kata Fadli, sesuai aturan yang berlaku anggota keluarga Presiden juga mendapatkan fasilitas protokoler tertentu. Namun, karena fasilitas itu bersifat melekat, Presiden mestinya bijaksana dan bisa memilah-milah, jangan sampai fasilitas bagi kerja kepresidenan ditumpangi oleh kepentingan pribadi keluarga Presiden, apalagi ini dilakukan secara mencolok.
“Saya kira ini preseden yang kurang pantas. Seingat saya, Presiden Soeharto yang sangat powerfull saja saat berkuasa dulu tidak pernah membawa cucunya dalam kunjungan resmi kenegaraan, kecuali untuk keperluan yang bersifat pribadi, seperti berobat dan sejenisnya,” kata Politisi Gerindra ini.
Karena soal ini telah menjadi sorotan publik, Fadli menilai Menteri Sekretaris Negara dan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara/Reformasi Birokrasi perlu memberi penjelasan terbuka atas hal tersebut, terutama terkait tata aturannya.
“Jangan sampai preseden semacam ini ke depannya malah jadi model bagi penyelenggara negara lainnya. Harus segera ditegaskan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, jangan sampai diabu-abukan. Ini tidak bagus bagi agenda reformasi birokrasi kita,” kata Fadli.
Laporan: Nailin in Saroh
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid