Jakarta, Aktual.com – Mantan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja diadopsi oleh pemerintah dan DPR dari sistem komunis China, yang melihat kapitalisme baru ala Tiongkok lebih menjanjikan ketimbang kapitalisme konservatif model Amerika Serikat dan Eropa.
Fahri menegaskan, UU Omnibus Law Cipta Kerja tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga merampas hak-hak individu, serta hak berserikat atau berkumpul. Beleid baru itu dinilai memberikan kewenangan luar biasa kepada lahirnya kapitalisme baru.
“Tradisi demokrasi yang demokratis selama ini, falsafahnya akan diganti dengan nilai-nilai kapitalisme baru yang merampas hak-hak individual dan berserikat atau berkumpul. Mereka juga diberikan kewenangan untuk memobilisasi dana, tanpa dikenai peradilan. Ini anomali yang berbahaya sekali,” kata Fahri dalam keterangannya, Kamis (15/10).
“Sekarang ada kapitalisme baru yang lebih menjanjikan: kapitalisme komunis China. Dari situ diambil kesimpulan, kita harus mengambil jalan mengikuti pola perkembangan ekonomi kapitalisme China yang sebenarnya tidak cocok dengan kita. China dikendalikan dengan sistem komunis, sementara Indonesia dikendalikan dengan sistem demokrasi,” tuturnya.
Hal ini, menurut Fahri, yang tidak disadari oleh pemerintah dan DPR yang ternyata tidak mampu memahami mazhab atau falsafah di belakang Omnibus Law Cipta Kerja secara utuh. Ketidakpahaman terhadap mazhab kapitalisme baru China dialami seluruh partai politik.
Karena sejak awal, seluruh partai politik terlibat secara aktif melakukan sosialisasi dan pembahasan, termasuk partai yang di ujungnya menolak, karena ingin mengambil keuntungan dari peristiwa ini saja.
“Jangan lupa di balik keputusan ini, ada persetujuan lembaga DPR dan proposal dari pemerintah, banyak hal yang diabaikan tiba-tiba disahkan–ini menjadi pertanyaan besar. Di sinilah, saatnya kita harus melakukan reformasi terhadap partai politik dan lembaga perwakilan,” ujarnya.
Karena itu, Wakil Ketua Umum Partai Gelora tersebut mempertanyakan untuk kepentingan siapa dalam Omnibus Law Cipta Kerja yang dipaksakan keberadaannya segera ada dengan pengesahan dipercepat. Sebab, para investor dari Amerika dan Eropa justru ramai-ramai mengirimkan surat kepada pemerintah Indonesia untuk menolak UU Cipta Kerja karena dianggap tidak bersahabat dengan investor.
“Sekarang investor Amerika dan Eropa ramai-ramai menulis surat, ini kekeliruan dan mereka menolak undang-undang ini. Kalau investor Amerika dan Eropa menolak, undang-undang ini untuk investor yang mana?” Fahri mempertanyakan.
Lebih lanjut, dia menganggap gejala aneh itu akan menjadi masalah bagi pemerintah dalam menarik investasi asing agar menanamkan modalnya di Indonesia. Di samping itu, investor juga kerap mempersyaratkan apakah negara itu menghargai demokrasi atau tidak merusak lingkungan dalam menanamkan modalnya di suatu negara.
“Ini akan menjadi problem tersendiri, karena mazhab UU Omnibus Law Cipta Kerja ini tidak berasal dari pemikiran negara demokrasi seperti Perancis, yang menghargai demokrasi dan tidak merusak lingkungan, serta tidak merampas hak individu dan berserikat. Undang-undang ini, mazhabnya dari kapitalisme China,” Pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin