Jakarta, Aktual.com-Wakil Katua DPR RI Fahri Hamzah menepis isu yang mengkaitkan pergantian Ketua DPR RI Ade Komarudin dengan “Aksi Bela Islam”. Menurut Fahri, pergantian tersebut lebih didasari putusan Mahkamah Kehormatan Dewan yang menyatakan Setya Novanto tak bersalah. Karenanya, perlu pemulihan nama baik dengan mengembalikan kursi ketua DPR kepada legislator asal Nusa Tenggara Timur (NTT) itu.
“Emang kenapa Akom ? Enggalah kajian Golkar saya kira dah lama. Saya bilang kan gini problemnya kan pak Nov pernah kena masalah. Suatu hari jadi ketum. Pasti dalam internal Golkar dibahas. Karena bagaimanapun dia akan jadi simbol untuk pemilu 2019. Barang mau dijual kan harus bagus juga. Mereka mulai masuk pertanyaan bagaimana ini. Gitu loh,” ujar Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (23/11).
Ia pun mengaku pernah mengingatkan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang kala itu menangani kasus “Papa Minta Saham” yang melibatkan Novanto untuk tidak melakukan sidang dengan mendengarkan bukti rekaman ilegal atau palsu. Hingga, akhirnya Ketua Umum Partai Golkar itu mengundurkan diri lantaran kondisi politik kian gaduh.
Bahkan, Fahri yang menengahi dan memberi saran ke MKD justru dianggap sebagai upaya perlindungi dan menyebabkan ia dipecat partai.
“Saya sendiri yang ingatkan soal rapat dengarkan bukti ilegal di MKD. Enggak boleh mendengarkan yang ilegal. Dari dulu saya bilang gitu. Sampai saya dipecat gara-gara itu. Coba saya didengar dari dulu, enggak akan begini jadinya,” cetus Fahri.
Lebih jauh, Fahri enggan berkomentar terkait peralihan pucuk pimpinan DPR RI pasca Rapat Pleno Partai Golkar. Pasalnya, surat pengembalian posisi Setya Novanto sebagai Ketua DPR menggantikan Ade Komarudin dari Fraksi Partai Golkar belum sampai ke meja pimpinan.
“Proses masih di internal Golkar kan. Masih jauh, pak Nov juga perlu ditanya dulu. Kecuali kalau fraksi nya sudah kirim surat. Kita kan belum tau fraksi dah kirim surat apa belum,” kata dia.
Ia menuturkan, proses pergantian posisi tersebut juga tidak asal cepat disepakati. Sebab, ada mekanisme yang mesti dilalui di lembaga legislatif itu. Pertama, dibahas dalam rapat pimpinan, dibawa dalam Badan Musyawarah, kemudian baru disetujui dalam rapat paripurna.
“Kan ada tiga tahapan. Rapim dulu. Kan rapim pertama baca surat. Kedua, membahas dalam bamus. Ketiga dibawa ke rapur. Menyetujui enggak surat itu,” kata Fahri.
“Tapi kan di DPP minta dikembalikan, pak Nov nya mau enggak? Itu problemnya. Pasti ada penjelasan,” tambah dia.
Meski demikian, tambah Fahri, pergantian tersebut tak akan berpengaruh pada instabilitas politik di DPR.
“Enggak ada, Insya Allah enggak ada. Pasti akan dibicarakan baik-baik, terutama dalam internal golkar. Tapi kita belum rapat, belum terima surat,” ungkap Politisi PKS itu.
*Nailin In Saroh
Artikel ini ditulis oleh: