Kemudian, partai itu bisa berkampanye bahwa lima tahun lagi mereka akan punya calon sendiri. “Itu bisa menciptakan instabilitas politik sebab partai yang memperoleh lebih dari 20 persen itu bisa men-challenge pemerintahan yang ada bahwa dia punya kandidat alternatif untuk lima tahun lagi,” kata Fahri.

Fahri mengungkapkan sebenarnya ada banyak catatan terhadap opsi presidential threshold 20 persen. Dia mencontohkan opsi ini disebut sebagai kebijakan hukum terbuka (open legal policy) atau norma yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembuat undang-undang.

Namun, menurut dia, kebijakan hukum mengenai norma itu sudah ditetapkan melalui putusan MK yang menyerempakkan penyelenggaraan pilpres dan pileg. “Pilpres dan pileg serempak sehingga tidak ada threshold. Itu dugaan saya yang menyebabkan kemungkinan besar ini dimenangkan oleh MK,” pungkas Fahri.

Seperti diketahui, DPR mengesahkan UU Pemilu dalam Rapat Paripurna DPR RI, Kamis (21/7) malam. Sebanyak enam fraksi partai politik yang mendorong dilakukannya voting menyetujui pilihan Paket A dengan presidential threshold 20 persen perolehan suara dan/atau 25 persen kursi di parlemen.

Empat fraksi lainnya, yakni Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS menolak voting dan memilih walk out dari persidangan. Sejumlah pihak juga berencana melakukan uji materi ke ke Mahkamah Konstitusi (MK). Khususnya, terkait aturan pasal ambang batas pencalonan presiden 20 persen.

Laporan: Nailin In Saroh

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby