Jakarta, Aktual.com – Pengamat ekonomi senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri menyebut, banyak kekeliruan data-data perekonomian yang disampaikan Presiden Joko Widodo saat menyampaikan Pidato tentang perkembangan ekonomi di acara Partai Amanat Nasional (PAN), kemarin.
Kekeliruan data yang disampaikan Presiden itu, kata Faisal, relatif mengganggu. Karena pemerintah banyak mengklaim keberhasilan yang terbaik di dunia, padahal kenyataannya tidak.
Sementara terkait recovery ekonomi global, Jokowi menyebut masih mengalami perlambatan ekonomi global di tahun depan, padahal lembaga dunia seperti Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) sudah memprediksi akan terjadi pemulihan.
“Pidato Jokowi banyak kekeliruan data ekonomi. Pidatonya banyak salah. Terdiri dari 11 alinea. Dua alinea pertama merupakan pengantar. Terkait masalah pertumbuhan ekonomi dunia, pertumbuhan terbesar ketiga, dan inflasi,” papar Faisal dalam laman pribadinya, ditulis Senin (14/11).
Terkait pertumbuhan ekonomi global, kata Faisal, kekeliruan pada alinea ke-3 pidato Jokowi itu.
Di alinea ke-3 itu disebutkan, “Pertama, kita tahu semuanya. Ekonomi dunia, ekonomi global sedang lesu, melambat. Perkiraan 4,3 persen turun di Bank Dunia. Di IMF, menurunkan jadi 3,1. Tahun depan diperkirakan masih melambat lagi. Ini tantangan yang sangat berat, yang mau tak mau harus kita hadapi,” sebut Jokowi.
Data Preisden ini, disebut Faisal, salah kaprah. Karena tahun depan, disebut IMF dan Bank Dunia, pemulihan global sudah mulai terjadi dan capaian ekonominya akan lebih tinggi dari tahun ini.
“Memang, pada Oktober IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi turun dari 3,2 persen tahun 2015 menjadi 3,1 persen pada 2016,” cetus dia. Pada konteks ini, data Presiden masih sama.
Sementara Bank Dunia, kata dia, pada Juni 2016, telah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2016 dari 2,9 persen menjadi 2,4 persen.
“Tapi yang perlu diingat, IMF dan Bank Dunia sepakat pertumbuhan ekonomi tahun 2017 diproyeksikan lebih tinggi dari tahun ini,” cetus Faisal.
Faisal terus mengkritisi pidato Jokowi. Di alinea ke-4, Jokowi megklaim pertumbuhan ekonomi di Indonesia menjadi yang tertinggi ketiga di dunia. Data ini termasuk menyesatkan.
Menurut Jokowi, kondisi ekonomi di Indonesia tetap tumbuh. Jokowi juga menyebut, pencapaian pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tiap triwulan. Dengan begitu, sebut Presiden, kondisi itu menempatkan Indonesia sebagai negara tertinggi ketiga di dunia.
“Memang betul, pertumbuhan ekonomi Indonesia tertinggi ketiga di antara negara G-20,” tegas Faisal.
Akan teyapi, lanjutnya,;jika dibandingkan dengan seluruh negara di dunia, kinerja Indonesia tidaklah di urutan ketiga. “Karema masih banyak negara yang pertumbuhan ekonominya lebih tinggi dari Indonesia,” kritik dia.
Masalah inflasi juga, data-datanya dianggap masih mengganggu. Pada alinea ke-10, Jokowi menyebut, “Kemudian berkaitan dengan inflasi. Dalam 2 tahun ini, inflasi betul-betul bisa kita kendalikan dengan baik. Tahun yang lalu inflasi kita 3,35%. Tahun ini target kita di bawah 3%.”
“Artinya, pergerakan harga-harga barang bisa dikendalikan dengan baik. Kalau pertumbuhan ekonominya 5% dan inflasi cuma 3,5%. Artinya ada keuntungan 1,5% yang kita nikmati,” jelas dia.
Menurut Faisal, dunia menghadapi fenomena penurunan inflasi, terutama disebabkan penurunan harga minyak dan harga komoditas.
“Kita patut bersyukur inflasi di Indonesia turun. Namun sayangnya, di negara lain turunnya lebih cepat lagi. Di kita, harga pangan masih kerap menyumbang inflasi terbesar,” kecamnya.
Hal yang paling mengganggu keilmuannya dari pidato Presiden itu, terkait kalimat, “Kalau pertumbuhan ekonominya 5% dan inflasi cuma 3,5%. Artinya ada keuntungan 1,5% yang kita nikmati.”
Justru kata Faisal, pertumbuhan ekonomi mencerminkan peningkatan riil produksi barang dan jasa. Jadi sudah menghilangkan faktor kenaikan harga.
“Maka, pertumbuhan ekonomi sebesar 5% berarti produksi barang dan jasa tumbuh secara riil sebesar 5% pula. Volume barang dan jasa juga tumbuh 5%. Tak perlu lagi dikurangi dengan inflasi untuk memperoleh ‘keuntungan’,” kritiknya.
Dalam perhitungan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) riil, pungkas dia, pengaruh kenaikan harga sudah dikeluarkan dengan melakukan penyesuaian PDB nominal dengan GDP deflator.
(Laporan: Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Eka