Jakarta, Aktual.com – Pengamat Ekonomi-Politik, Faisal Basri mengendus masih banyak trader-trader pemburu rente di sektor telekomunikasi. Mereka itulah yang kemudian mendorong pemerintah untuk melakukan revisi PP Nomor 52 dan PP Nomor 53 tahun 2000.
Para pemain di sektor telekomunikasi ini, kata Faisal, merupakan korporasi besar yang memiliki akses dekat ke pemerintahan.
“Di sektor telekomunikasi banyak tradernya. Seperti juga di sektor migas (minyak dan gas bumi). Apalagi di sektor ini adalah semuanya pemain besar. Tak ada perusahaan kecil di telekomunikasi ini,” jelas Faisal, saat seminar Konektivitas Telekomunikasi Indonesia, di Jakarta, Selasa (29/11).
Meski begitu, Faisal sendiri mengakui, dirinya kurang begitu tahu persis secara detail para trader di telekomunikasi ini.
“Mereka itu (trader telekomunikasi) sebagai para pemburu rente yang ingin masuk sektor telekomunikasi. Dan dekat dengan kekuasaan. Tapi mereka tidak mempunyai kompetensi, sehingga untuk mengikuti jalur kompetisi tak mampu. Akhirnya lewat jalur kekuasaan. Dan salah satunya mendorong revisi kedua PP ini,” terang Faisal.
Apalagi memang, tegas Faisal, sektor telekomunikasi itu dalam kacamata politik sangat kronis. Sehingga tidak ada pengusaha telekomunikasi yang tidak dekat dengan kekuasaan dan bisa masuk ke sektor ini.
“Makanya, telekomunikasi ini sektor kronis. Dan jika kita ingat, penyumbang kampanye pemilu salah satunya disokong oleh sektor telekoumikasi ini. Karena rentenya itu tinggi,” tandas dia.
Dengan kondisi seperti itu, tak aneh jika kemudian mereka mendorong dilakukannya revisi PP Nomor 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP Nomor 53 tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit.
Dengn revisi ini, kata Faisal, mereka enggan untuk membangun infrastruktur telekomunikasi baru. Karena cukup dengan melakukan network sharing dengan menebeng di infrastruktur telekomunikasi yang sudah eksis di daerah tersebut. Dalam hal ini, PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk dan PT Telkomsel.
“Itu lah tipikal pengusaha. Sehingga para pengusaha telekomunikasi itu kalau bisa, tidak perlu investasi tapi tetap untung. Bahkan kalau bisa mereka tetap menjadi free rider (penumpang percuma),” tandasnya.
Bahkan dirinya juga mempertanyakan, maksud dari revisi kedua PP ini. Jika dimaksudkan pemerintah untuk menekan biaya interkoneksi, maka lagi-lagi yang diuntungkan adalah korporasi telekomunikasi swasta.
“Makanya, saya sendiri baca PP ya, tapi kalau cuma untuk turunin biaya interkoneksi, berarti yang akan untung yang tak banyak membangun BTS dong,” sindir dia.
Dia pun berharap, prinsipnya adalah jangan sampai negara tunduk oleh keinginan korporasi dunia. “Negara tidak boleh tunduk oleh kekuatan korporasi dunia itu dan negara tidak boleh didikte yang akan hanya menguntubgkan korporasi daripada negara,” tandasnya.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan