Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasutioan ditegur oleh Presiden Joko Widodo. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Pengamat ekonomi politik dari Universitas Bung Karno, Salamuddin Daeng menyebut, berdasar fakta-fakta yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) di awal tahun ternyata kinerja Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) memunculkan angka-angka kegagalan rezim ini.

Baik dilihat dari pengendalian inflasi, pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan petani, atau pun angka kemiskinan dan pengangguran yang meningkat.

“Dari sisi inflasi Januari 2017 yang mencapai 0,97 persen tentu sangat membahayakan masyarakat. Inflasi yang tinggi ini berbahaya ditengah daya beli masyarakat yang semakin merosot,” cetus Daeng kepada Aktual.com, di Jakarta, Minggu (19/2).

Dengan inflasi yang tinggi itu, kata dia, pemerintah gagal dalam mengendalikan inflasi nasional dan inflasi daerah yang merupakan tugas paling penting. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih ditopang sebagian besar oleh sektor konsumsi.

Terkait pertumbuhan ekonomi Indonesia yang di tahun 2016 tumbuh 5,02 persen, tentunya angka itu masih jauh dari janji presiden Jokowi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi double digit, atau minimal mencapai 7 persen.

“Karena pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih cukup rendah ini, hanya cukup untuk dibagikan dalam lingkaran oligarki ekonomi nasional atau bisa disebut tidak dapat didistribusikan kepada mayoritas masyarakat,” tandas dia.

Daeng juga mengkritisi soal nilai impor Desember 2016 yang sebesar US$12,78 miliar, naik 0,88 persen dibanding impor November 2016 dan naik 5,82 persen jika dibanding impor Desember 2015. Kondisi ini mencerminkan bahwa ketergantungan yang semakin tinggi terhadap barang-barang impor terutama bahan baku dan termasuk pangan.

“Kondisi ini terjadi karena adanya deindustrialisasi nasional. Hal itu membuat terjadinya ketergantungan pada bahan baku impor. Hancurnya sektor pertanian  merupakan  penyebab ketergantungan yang tinggi pada pangan impor itu,” terang dia.

Kondisi-kondisi tersebut membuat masalah kemiskinan yang tidak teratasi dengan optimal. Jumlah penduduk miskin pada September 2016 sebanyak 27,76 juta orang (10,70 persen) itu hanya menurun 0,25 juta orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2016 yang sebesar 28,01 juta orang (10,86 persen). Dengan penanganan pemerintah seperti saat ini, bisa akan memperparah perekonomian ke depannya.

“Ini merupakan pencapaian yang buruk. Dalam setahun pemerintah hanya mampu mengurangi kemiskinan 250 ribu orang. Sementara APBN Indonesia mencapai Rp 2.000 triliun lebih. Pengurangan kemiskinan jauh dibandingkan pertumbuhan jumlah penduduk dan angkatan kerja,” ketusnya.

(Reporter: Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka