Jakarta, Aktual.com – Sulit untuk disangkal bahwasanya setiap bencana alam, terutama letusan sebuah gunung api kerap kali mengundang depresi ekonomi dan krisis sosial. Karenanya letusan Gunung Agung Karang Asem, Bali patut untuk menjadi perhatian. Terlebih entah bagaimana kaitannya, dalam riwayat letusan gunung yang ada di Pulau Dewata itu erat kaitannya dengan kegoncangan politik dalam negeri hingga mengakhir rezim kekuasaan.
Jika memang demikian, tak heran bila pemerintahan Joko-Widodo (Jokowi) dengan segala kemampuannya berupaya pontang-panting untuk menciptakan suasana agar tetap kondusif.
Bahkan secara langsung Presiden Jokowi beberapa kali terbang ke Bali untuk memastikan perkembangan aktifitas Gunung Agung dan berupaya meyakinkan semua pihak bahwa letusan Gunung Agung tidak mempengaruhi sektor pariwisata.
Tidak cukup di situ, pada 22 Desember silam, upaya dan keseriusan Jokowi untuk meyakinkan semua pihak yakni dilakukan dengan cara memboyong hampir semua Menterinya ke pulau Bali dengan agenda khusus membahas perkembangan aktifitas Gunung Agung. Pada kesimpulan rapat itu, Jokowi mencabut status Tanggap Darurat dan diturunkan menjadi Awas radisu 8 Km dari puncak gunung.
Namun seakan tak tinggal diam dan menaggapi keputusan itu, selang beberapa waktu, atau tepatnya keesokan harinya, Gungung Agung memuntahkan kembali abu vulkanik setinggi 2.500 meter dari permukaan kawah.
Perlu diingat bahwa perekonomian pulau Bali sangat bergantung pada sektro pariwisata, sehingga bisa dipastikan letusan Gunung Agung ini akan mempengaruhi pendapatan negara dari sektor pariwisata dan khususnya berimbas langsung kepada perekonomian rakyat Bali.
Kembali kepada kegoncangan ekonomi dan huru-hara politik, menarik untuk dibaca tulisan Redaktur Senior mendia Aktual.com yang mengangkat ‘Membaca Krisis Sosial-Ekonomi dan Sosial-Politik Melalui Meletusnya Gunung Merapi dan Gunung Agung’. Seperti yang disinggung di awal, entah bagaimana kaitannya, namun faktanya letusan gunung menjadi pertanda huru-hara dan kerap berakhir pada kejatuhan rezim.
Dalam tulisan itu, pada awalnya Hendrajit menggambarkan letusan Gunung memberi pengaruh negatif pada komoditas dan perdagangan hingga melilit depresi ekonomi global. Bisa dipahami bahwa krisis sektor perekonomian sangat rentan berujung pada huru-hara dan goyahnya rezim kekuasaan. Namun kemudian Hendrajit memaparkan beberapa momentum letusan Gunung Agung dan gejolak politik pada zaman itu.
Berikut penggalan tulisan Hendrajit:
“Bagaimana dengan meletusnya gunung Agung? Letusan yang berlangsung saat ini tentu saja masih dini untuk disimpulkan sebagai pertanda. Namun kejadian letusan gunung Agung sebelumya, berlangsung pada Februari 1963, sering diyakini oleh para spiritualis dan para pakar sejarah esoterik, sebagai pertanda bakal meletusnya ledakan sosial berdarah alias Goro-Goro yang meletus dua tahun kemudian, ketika terjadi Gerakan September 1965.
Apakah berarti pula bahwa meletusnya gunung Agung sekarang merupakan pertanda buruk bagi para penguasa? Tentu saja masih terlalu dini untuk disimpulkan. Namun sekadar catatan berikut ini, bolehlah untuk menjadi bahan perenungan dan introspeksi.
Ketika gunung Agung pertama kali meletus pada 1808, tujuh tahun kemudian Kerajaan Belanda sepenuhnya berkuasa penuh terhadap hampi seluruh wilayah nusantara. Bahkan kongsi dagang para pengusaha swasta Belanda VOC yang mengawali kedatangannya di bumi nusantara, pada 1815 itu kemudian juga diambil-alih pemerintah kerajaan Belanda.
Pada 1823, ketika gunung Agung meletus lagi, Dua tahun kemudian pada 1825 terjadi perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Yang kelak dikenal dengan Perang Jawa. Meski perlawanan Pangeran Diponegoro dapat dikalahkan secara militer 5 tahun kemudian, namun perang Jawa tersebut telah menghancurkan mesin perekonomian dan keuangan Kerajaan Belanda. Pada masa itu juga terjadi pemberontakan di Bone Sulawesi, dan Padri di Sumatra Barat yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol, yang semuanya juga dapat ditumpas secara militer oleh Belanda. Namun perlawanan tersebut tetap menjadi legenda dan epos kepahlawanan yang tetap dilestarikan dalam Sejarah Nasional Indonesia. Betapa rakyat Indonesia di bumi nusantara, tidak pernah begitu saja menyerah ketika pihal asing bermaksud menjajah Indonesia.
Tahun 1843 gunung Agung kembali meletus. Tiga tahun setelah itu, tepatnya pada 1846, pasukan Belanda menyerbu kerajaan Buleleng Bali. Istana Singaraja kemudian dihancurkan.
Pada 1963, seperti disinggung di awal cerita, gunung Agung meletus kembali. Kali ini, Nusantara sudah dalam naungan kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan dua tahun kemudian, seperti kemudian sejarah mencatat, terjadilah pemberontakan G 30 September 1965.
Pemberontakan PKI berhasil ditumpas dengan cepat dan efektif oleh Pangkostrad Mayor Jenderal Suharto, yang kelak pada 1967 dikukuhkan menjadi pelaksa harian Presiden RI menggantikan Presiden pertama RI Sukarno. Namun rentetan peristiwa setelah itu adalah peralihan kekuasaan dari era Presiden Soekarno sang Proklamator Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah berkuasa selama 20 tahun. Kepada Jenderal TNI Suharto yang mana sejak pemilu pertama di era Orde Baru pada 1971, Suharto secara resmi menjadi Presiden RI kedua. Dan berkuasa selama 32 tahun,” demikian penggalan tulisan Hendrajit.
Terlepas daripada itu, Menteri ESDM, Ignasius Jonan yang menaungi Badan Geologi menepis anggapan bahwa cara menangani aktifitas Gunung Agung terkesan lebih utama dan spesial dibanding penanganan letusan gunung lainnya.
“Kalau dinilai bersikap lebih dalam penanganan Gunung Agung, saya rasa nggak juga begitu. Sama saja dengan penanganan Gunung Sinabung dan lainnya. Cuma secara geologi Gunung Agung saat ini berbeda,” kata Jonan menjawab pertanyaan Aktual.com di Kementerian ESDM, Kamis (4/1).
Jonan menyampaikan bahwa perkembangan terkini aktifitas Gunung Agung telah relatif membaik dan satus Awas menurun dari radius 8 ke radius 6 Km.
“Status Awasnya menurun dari 8 ke radius 6. Coba di cek ke Kementerian Pariwisata, dengan menurunnya status Awas, mungkin makin membaik bagi sektor pariwisata,” pungkas dia.
(Reporter: Dadangsah)
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Eka