Jakarta, Aktual.com – Dinamika politik di DKI Jakarta sangat dinamis. Begitu kata politisi PDI-P Adian Napitupulu. Karenanya, tidak mudah memprediksi hasil akhir Pilkada DKI 2017 nanti, meskipun bagi calon incumbent seperti Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Menurutnya, ada beberapa penyebab sulitnya memprediksi hasil Pilkada DKI.

Pertama, akses informasi di Jakarta sangat cepat dan tanpa batas. Menurut survei, ujar Adian, 60 persen atau sekitar 6,5 juta dari 11 juta penduduk DKI adalah pengguna internet Aktif (sosial media, media on line dll) dengan durasi rata rata 2 jam per orang perhari.

Kedua, pengelompokan politik dan ekonomi sangat beragam.

Ketiga, APBD DKI yang mencapai Rp63 triliun per tahun dan perputaran uang sebesar Rp2.000 triliun per tahun atau 70persen dari total perputaran uang di Indonesia. Membuat kursi Gubernur DKI menjadi begitu menggiurkan diperebutkan semua kekuatan politik dan ekonomi.

Faktor ke empat, penduduk Jakarta sangat majemuk.

Bukan hanya keempat faktor itu menurut Adian yang harus diperhatikan. Ada dua faktor dan fakta lain yang akan ikut menentukan hasil Pilkada DKI. “Yakni fakta komposisi etnis dan agama,” ujar dia, dalam keterangan tertulis yang diterima Aktual.com, Kamis (21/7).

Di Jakarta, komposisi etnis Jawa (tengah, jogja dan timur) 35,16 persen. Betawi 27,65 persen, Sunda 15,27 persen, Tionghoa 5,53 persen, Batak 3,61 persen, Minang 3,18 persen, Melayu 1,62 persen. Sisanya etnis lain dari Papua, Dayak, Bugis, Maluku, Bali, hingga Aceh.

Lalu komposisi Agama. 85,36 persen di Jakarta beragama Islam. 7,54 persen beragama Kristen. 3,15 persen beragama Katolik, Hindu 0,21 persen, Budha 3,13 persen dan Kong Hu Cu 0,06 persen.

Menurut Adian, kelihaian tim masing masing kandidat untuk mengelola, bersiasat dan mengatur taktik serta strategi kampanye terkait dua faktor dan dua fakta tersebut akan sangat menentukan kemenangan.

Meskipun Pilkada DKI masih tujuh bulan lagi, menurut dia, bisa diprediksi jika kelompok sektarian akan gunakan isu agama. Kelompok primordial akan gunakan isu etnis. Sedangkan kelompok nasionalis dan pro demokrasi akan melawan kedua isu itu.

“Dengan argumentasi prestasi, kinerja, track record dan lain lain yang senafas dengan nasionalisme dan demokrasi,” ujar dia. (Dadang S)

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta