Jakarta, Aktual.com – Forum Diskusi Ketahanan Energi (FDKE) sebuah wadah berkumpulnya para mahasiswa, akademisi, pejabat pemerintah (mantan & masih aktif), korporasi/praktisi, aktivis dan para pegiat terkait Energi, utamanya dalam bidang Ketahanan Energi (Energy Security) yang berdiri sejak tahun 2015, dengan kesadaran berempati para anggotanya bersepakat membangun gerakan sosial Amicus Curiae guna memberikan bantuan pembelaan hukum demi keadilan terhadap perkara tindak pidana yang menjerat Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Karen Agustiawan.
Menurut literasi (Administrative Law & Governance Journal. Volume 4 Issue 1, March 2021), Amicus Curiae atau friends of court atau biasa juga disebut ‘Sahabat Pengadilan’ adalah sebuah upaya hukum yang memungkinkan pihak ketiga, yaitu mereka yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara, memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan.
“Amicus Curiae adalah masukan, baik dari individu maupun organisasi yang bukan bertindak sebagai pihak dalam perkara, tetapi menaruh perhatian atau berkepentingan terhadap suatu kasus. Hakim dapat menggunakan Amicus Curiae sebagai bahan untuk memeriksa, mempertimbangkan, dan memutus sebuah perkara. Hakim dapat membuka informasi dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi para pihak yang merasa memiliki kepentingan dengan suatu kasus,” dikutip dari literasi di atas.
Praktisi Hukum SHP Law Firm, Syaefullah Hamid mengatakan Karen Agustiawan adalah korban ‘kriminalisasi’ dari Aparat Penegak Hukum (APH), yang dengan menggunakan pasal 2 dan 3 UU Tipikor telah mentersangkakan dan mencekalnya sejak 7 Juni 2022, kemudian menahannya sejak 19 September 2023, serta melimpahkannya ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada tanggal 16 Januari 2024 ybl.
Adapun tuduhan tindak pidana yang dikenakan kepada Karen Agustiawan pada saat press conference tanggal 19 Sepetember 2023, mantan Ketua KPK, Firli Bahuri mengatakan bahwa dalam Pengadaan LNG Pertamina dari Corpus Christi Liquefaction (CCL) Amerika Serikat, Karen Agustiawan dituding telah melakukannya secara sepihak, terjadi kelebihan pasokan (over supply), dan mengakibatkan kerugian keuangan negara.
“Perjanjian Jual Beli (Sales & Purchase Agreement/SPA) LNG CCL tersebut dilakukan pada tahun 2013 dan 2014. Kemudian kedua SPA tersebut dibatalkan dan digantikan oleh SPA LNG 2015 pada era Dwi Soetjipto, Direktur Utama Pertamina pengganti Karen Agustiawan,” jelas Syaefullah saat Diskusi ‘Ngopi Bareng Awak Media’ yang didukung oleh Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) di Jakarta, Jumat (26/1).
Kontrak pengadaan LNG terang Syaefullah akan berlangsung hingga 2040, dan kerugian ini ditengarai terjadi pada tahun 2020 dan 2021. Sebagaimana diketahui, pada saat itu sedang terjadi Pandemi Covid-19, di mana semua harga komoditas dunia anjlok dan sistem transportasi antar negara/benua terganggu, karena banyak negara memberlakukan lock down.
“Padahal dari impor LNG ini Pertamina kini telah menerima keuntungan yang sangat besar. Sampai Desember 2023 saja, keuntungan yang diterima Pertamina sudah mencapai USD91.617.941 atau sekitar Rp1,425 Triliun,” terangnya pula.
Selain itu Syaefullah juga mengatakan bahwa pengadaan LNG dari CCL itu adalah perintah jabatan sesuai dengan Inpres, Perpres, Wapres, NGI-MESDM, MP3EI dll, dalam mendukung pembangunan Refinery Development Master Plan (RDMP) dan Floating Storage Regasification Unit (FSRU) Jawa Tengah, termasuk pasokan gas untuk kebutuhan industri domestik lainnya.
“Jadi, Pengadaan LNG ini adalah sebuah aksi korporasi, yang prosesnya berlangsung dari bawah ke atas (bottom-up), sesuai dengan tupoksi masing-masing staf dalam organisasi Pertamina, dan telah disetujui secara kolektif kolegial oleh seluruh Anggota Direksi,” jelasnya.
“Dalam Anggaran Dasar (AD) Pertamina juga mengatur bahwa keputusan yang diambil oleh Dewan Direksi boleh tanpa persetujuan dari Dewan Komisaris dan RUPS. Sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat 8 dan ayat 10 AD Pertamina dan juga Board Manual 2013, serta Memorandum Legal Corporate tanggal 24 Agustus 2013, jadi tidak benar kalau dituduh sepihak,” jelasnya lagi.
Terkait oversupply, selain SPA LNG 2015, begitu banyak SPA LNG di Pertamina yang terjadi justru dalam periode 2016 hingga 2019, yakni: Total Gas and Power (29/01/2016), Chevron Eni Rapak Limited (21/11/2016), Eni Muara Bakau (21/12/2016), Woodside Energy Trading Singapore (5/06/2017), Mozambique (13 Februari 2019).
Dalam SPA 2015 kata Syaefullah banyak sekali yang diubah, dihilangkan dan ditambahkan pasal-pasal kontrak baru yang seluruhnya tidak diketahui Karen Agustiawan, dan dia juga tidak ikut memberikan persetujuan karena memang sudah tidak menjabat di Pertamina lagi.
“Dalam pasal 24.2 jelas-jelas disebutkan bahwa SPA 2015 membatalkan dan menggantikan seluruh SPA sebelumnya, yaitu SPA 2013 dan 2014. Sehingga secara yuridis, Bu Karen sudah terlepas dari segala konsekuensi yang ditimbulkan dari perjanjian yang baru itu,” tambahnya.
“Kontrak penjualan kargo CCL, misalnya dengan PPT ETS, juga mengacu ke SPA 2015, dan bukan SPA 2013 & 2014. Salah satu Certificate of LNG Transfer, yaitu 1 Juli 2019, menunjukkan bahwa kontrak yang menjadi dasar pengiriman volume adalah SPA 2015, dan bukan SPA 2013 & 2014,” pungkas Syaefullah.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan