Ketika itu, Sutanto sedang menengok warga setempat menyiapkan berbagai keperluan sebagai tuan rumah festival dan menyampaikan gagasannya.
Satu panggung luas lainnya dalam festival yang diselenggarakan oleh para seniman petani Komunitas Lima Gunung secara swadaya, selama 10-12 Agustus 2018, di dusun sekitar tujuh kilometer barat Kota Magelang itu, dibangun panggung di tengah perkampungan warga yang diberi nama Panggung Kampung.
Tentu saja, pemasangan instalasi “Desa-Kota” itu tidak lepas dari kesadaran komunitas bahwa posisi desa Wonolelo dengan kehidupan warganya, yang oleh dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Sekartaji Suminto disebut sebagai semi-urban, yaitu desa tetapi juga seperti kota.
Kepala Dusun Wonolelo yang juga pimpinan Sanggar Wonoseni Bandongan Pangadi (Ki Ipang) membenarkan bahwa kehidupan sosial kemasyarakatan warganya yang berjumlah sekitar 250 kepala keluarga atau 650-an jiwa tersebar di empat rukun tetangga itu, sebagai semi-urban.
Seniman kelompok sanggar itu, bagian dari berbagai grup kesenian rakyat Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang dengan sejumlah ragam kesenian, antara lain musik tradisional religius “madyopitutur”, tarian “seto kencono”, dan tarian “topeng ireng”.
“Kami memang setengah desa, setengah kota,” kata Pangadi.
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid