*Penurunan Demokrasi*

Selain itu, Pakar Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta sekaligus Pendiri Indikator Politik Indonesia, Prof. Burhanuddin Muhtadi, M.A., Ph.D., menilai kualitas demokrasi Indonesia mengalami penurunan signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Ia juga menyoroti lembaga pemeringkat global seperti Freedom House, The Economist Intelligence Unit, hingga V-Dem menunjukkan pola serupa indeks demokrasi Indonesia terus melorot. Bahkan, V-Dem baru-baru ini mengklasifikasikan Indonesia sebagai electoral autocracy, penurunan paling tajam sejak era Reformasi.

“Pada masa Presiden SBY kita sempat berada pada level demokrasi yang tinggi. Masa Presiden Jokowi mengalami penurunan, dan dalam setahun terakhir drop lebih dalam lagi,” ujarnya.

Adapun penyebab utama kemunduran tersebut bukan hanya budaya politik, melainkan melemahnya prinsip checks and balances. Burhanuddin menyebut akuntabilitas horizontal antar-lembaga negara kini jauh berkurang.

“Dulu klarifikasi bisa diminta berhari-hari, sekarang sulit. Ada masalah dalam mekanisme saling menasihati antar-lembaga,” tegasnya.

Burhanuddin juga menguraikan sejumlah kritik akademik terhadap konsep demokrasi Pancasila. Ia menyebut model ini dinilai terlalu kabur, elastis, dan tidak memiliki definisi operasional yang jelas, sehingga mudah ditafsirkan sesuai kepentingan pemerintah.

“Nilai-nilai seperti musyawarah, hikmat kebijaksanaan, atau keadilan sosial bisa ditafsirkan sesuai selera pemimpin. Pada masa Orde Lama hingga Orde Baru, Pancasila kerap dijadikan palu godam ideologis,” katanya.

Ia juga menyinggung penelitian berbagai ahli nasional dan internasional yang menyebut demokrasi Pancasila cenderung menekan oposisi, menghambat kompetisi politik, dan terlalu mengutamakan harmoni sehingga rentan mengorbankan hak kelompok minoritas.

Burhanuddin menegaskan pentingnya menjaga checks and balances serta menghormati kedaulatan rakyat sesuai amanat UUD 1945. Ia menambahkan bahwa diskusi mengenai demokrasi Pancasila harus dilandasi perspektif akademik yang kritis sekaligus memahami dinamika realitas politik di lapangan.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano