*Negara Harus Simetris, Adil, dan Tidak Elitis*
Selain itu, Pakar Human Studies sekaligus Dosen Universitas Islam 45 Bekasi, Dr. Rasminto, menilai bahwa tujuan amendemen UUD 1945 pada periode 1999–2002 yakni memperkuat demokrasi, HAM, dan pemisahan kekuasaan yang belum sepenuhnya tercapai. Dalam hal ini masih adanya problem substansial, baik dalam praktik ketatanegaraan maupun implementasi hukum.
Ia juga mencatat bahwa sepanjang 2019–2025 terdapat sedikitnya 125 judicial review terhadap undang-undang, dengan jumlah terbesar terkait omnibus law.
“Ini menunjukkan betapa persoalan regulatif kita sangat kompleks dan cenderung membuka ruang instabilitas,” ujarnya.
Masyarakat masih menghadapi kesenjangan literasi politik, juga dapat diatasi dengan penguatan bab kedaulatan rakyat dalam UUD 1945 agar demokrasi Pancasila menempatkan rakyat sebagai pusat tata kelola pemerintahan, termasuk penegasan norma partisipasi publik dalam legislasi.
Selain itu, perlu pembenahan sistem pemilu dan partai politik, khususnya terkait keseimbangan antara derajat keterwakilan dan stabilitas pemerintahan. Termasuk transparansi dan akuntabilitas pendanaan politik, agar tidak membuka ruang bagi oligarki.
“Tujuan utama bernegara adalah memakmurkan rakyat. Maka konstitusi harus memastikan negara berjalan secara simetris, adil, dan tidak elitis,” pungkasnya.
Dengan beragam masukan dari para pakar, akademisi, dan praktisi, FGD yang digelar Kelompok I Badan Pengkajian MPR RI ini diharapkan dapat memperkaya proses perumusan rekomendasi strategis mengenai arah ketatanegaraan Indonesia ke depan.
Seluruh pandangan tersebut akan menjadi bahan penting bagi MPR RI dalam memperkuat kualitas demokrasi, memastikan hadirnya kedaulatan rakyat, serta mendorong sistem politik yang lebih inklusif dan akuntabel.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano
















