Tequila Bester - Psikolog Utama, James Kallman - Pendiri FIHRRST, Rita Eriani - Kasi Min Kamtib Lapas Perempuan Kelas II Tangerang, dr. Nuning S. Kamaratri - Kepala Tim Medis Lapas Perempuan Tangerang
Tequila Bester - Psikolog Utama, James Kallman - Pendiri FIHRRST, Rita Eriani - Kasi Min Kamtib Lapas Perempuan Kelas II Tangerang, dr. Nuning S. Kamaratri - Kepala Tim Medis Lapas Perempuan Tangerang

Jakarta, Aktual.com – Lembaga Pemasyarakatan (LP) yang baik harus memiliki program pembinaan terpadu untuk Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang dinaunginya. Untuk partisipasi mendukung pelaksanaan Basic Principles for the Treatment of Prisoners, The Foundation for International Human Rights Reporting Standards (FIHRRST) bekerjasama dengan Jurusan Psikologi, Universitas Binas Nusantara (BINUS), telah melaksanakan program pembinaan WTP di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas II A Tangerang, Banten.

“Kegiatan ini sangat baik untuk pembinaan kesehatan mental di lapas, apalagi karena lapas tidak memiliki tenaga psikolog. Dengan adanya program ini, setidaknya WBP dapat secara mandiri mengatasi masalah, baik untuk pribadi maupun teman sesama WBP. Pelatihan yang diberikan untuk petugaspun melatih mereka menumbuhkan rasa empati dan kepedulian saat menangani WBP yang memiliki masalah psikologis,” ujar dr Nuning Sukma, dokter medis di LP Perempuan Tangerang dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat (28/9).

Untuk diketahui, LP Perempuan Kelas IIA Tangerang didirikan 1979 dan mulai difungsikan 1982. LP ini berkapasitas 250 orang. Namun, seperti kebanyakan LP di Indonesia yang mengalami kelebihan kapasitas, LP Perempuan Tangerang dihuni WBP 398 orang. Kelebihan kapasitas ini merupakan tantangan bagi institusi pengelola lembaga pemasyarakatan di Indonesia untuk memenuhi kaidah-kaidah sesuai Basic Principles for the Treatment of Prisoners.

WBP perempuan menghadapi permasalahan lebih kompleks, tidak hanya faktor psikis, tetapi juga psikologis. Sulitnya menerima kondisi yang terjadi, termasuk pemisahan dari keluarga dan sulit beradaptasi dengan lingkungan penjara, dan pengalaman trauma di masa lalu seringkali menjadi faktor yang membuat perempuan WBP cenderung memiliki tingkat permasalahan psikologis lebih tinggi. Situasi itu yang menunjukkan pentingnya penyediaan layanan kesehatan mental bagi para perempuan penghuni lembaga pemasyarakatan.

“WBP yang memiliki pengalaman traumatis dan kendala dalam pengelolaan stres dan emosi, diberi kesempatan mengikuti konseling emosi dan trauma. Selain itu, pelatihan seperti parenting skill, pelatihan interpersonal, dan komunikasi efektif, juga diberikan kepada WBP,” tambahnya.

FIHRRST menyadari pentingnya keberlanjutan dari capaian program ini. Karena itu, program pelatihan selain diberikan kepada WBP, juga kepada pengelola lembaga pemasyarakatan. Pelatihan diberikan kepada petugas LP yang ditunjuk menjadi kader kesehatan mental, yang diharapkan dapat melanjutkan program penguatan kondisi psikologis dan karakter WBP di dalam LP perempuan Tangerang.

Materi pelatihan itu meliputi; komunikasi efektif, layanan tanggap trauma, dan psychological first aid. Sebagai bagian dari komitmen kampus pada pengabdian kepada masyarakat; para psikolog yang juga pengajar Jurusan Psikologi, Universitas BINUS, dengan melibatkan para mahasiswa psikologi BINUS, akan melanjutkan aktivitas pemantauan dan penguatan kesehatan mental para WBP di LP Tangerang ini.

“Melibatkan organisasi masyarakat sipil dalam suatu program di lembaga pemasyarakatan akan dapat membantu menciptakan dan menjaga hubungan sehat antar WBP dan dengan lingkungan di luar lembaga pemasyarakatan, mengurangi efek buruk atas kendala terbatasnya fasilitas di dalam penjara, dan turut berpengaruh dalam memperbaiki suasana di dalam lembaga pemasyarakatan,” kata pendiri FIHRRST, James Kallman.

Direktur Eksekutif Yayasan TIFA, Darmawan Triwibowo, mengatakan bahwa langkah memperbaiki kualitas pelayanan sistem lembaga pemasyarakatan adalah langkah penting yang tidak bisa ditunda lagi.

“Negara harus hadir, namun ada kalanya negara perlu untuk tidak sendirian hadir. TIFA melihat pentingnya kerjasama antara negara dan aktor non-negara untuk terus ditumbuhkan,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka