Jakarta, Aktual.com – Komisaris perusahaan startup lokal peer to peer lending (P2P) untuk properti Gradana Freenyan Liwang mengklarifikasi opini bahwa teknologi finansial (tekfin atau fintech) merupakan bentuk lain dari rentenir digital.
“Gradana dan perusahaan tekfin lainnya yang bergerak dalam bidang pembayaran atau pembiayaan UMKM justru menjadi bagian dari solusi untuk merealisasikan program pemerintah tentang inklusi keuangan,” ujar Freenyan melalui pernyataan resmi yang diterima di Jakarta, Sabtu (10/3).
Dengan adanya model bisnis seperti itu, maka seluruh lapisan masyarakat bisa mengakses lembaga keuangan dengan lebih mudah melalui saluran-saluran pembiayaan khusus yang saat ini belum dapat difasilitasi oleh institusi keuangan konvesional.
“Dengan adanya fungsi teknologi, segala bentuk persyaratan administrasi atau pelengkap bisa dilakukan secara online dan bisa diakses kapan pun, bahkan tidak hanya pada jam kerja kantor saja,” ujar Mantan Direktur Bank Sinarmas tersebut.
Menurut Freenyan, istilah rentenir digital yang akhir-akhir ini marak mengacu kepada beberapa tekfin yang menawarkan payday loans di mana calon peminjam bisa mendapatkan uang secara cepat tanpa banyak persyaratan maupun verifikasi. Bunga yang dikenakan jauh lebih tinggi daripada perbankan karena sesuai dengan besaran resikonya.
“Semakin tinggi resiko tentu saja bunga yang diterapkan lebih tinggi. Contohnya adalah Kredit Tanpa Anggunan atau KTA. Tanpa jaminan sama sekali, namun resikonya besar bagi pemberi pinjaman. Tidak heran kalau bunganya mencapai 30 hingga 51 persen per tahun,” katanya.
Dia menambahkan, untuk jenis payday loan tentunya akan dikenakan bunga lebih tinggi lagi karena kecepatan proses verifikasi diminimalisir.
Untuk Fintech P2P lending sendiri sudah diatur dalam POJK Nomor 77/POJK.01/2016 di mana salah satu aspek yang ditonjolkan adalah para penyelenggara P2P tidak boleh melakukan balance-sheet lending di mana uang yang dipinjamkan berasal dari dana penyelanggara P2P itu sendiri.
Dalam peraturan tersebut disampaikan bahwa tugas penyelenggara hanya sebagai platform yang mempertemukan calon pemberi pinjaman / pendana dengan calon peminjam.
Tentunya sebagai platform, terutama para platform yang telah terdaftar di OJK, bertanggung jawab dan mempunyai kewajiban untuk menyampaikan informasi sebenar-benarnya.
“Pernyataan dari Ketua OJK mengenai rentenir tersebut harus disikapi dengan bijak. Tentu bukan berarti OJK sebagai lembaga ingin menghambat pertumbuhan industri ini ke depan. Justru OJK ingin agar masyarakat terlindungi dari pembiayaan yang merugikan. Kita siap untuk mengadopsi apapun regulasi yang dikeluarkan OJK agar masyarakat teredukasi dan tetap bisa mengambil manfaat dari keberadaan kami,” ujar Freenyan.
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso akan mengawasi perusahaan Fintech termasuk mengedukasi masyarakat. Hal tersebut dilakukan agar tidak ada yang dirugikan dan tertipu. Pasalnya, Fintech tidak bisa dibendung dan tidak bisa dilarang.
Bunga Fintech cukup besar, baik dari bunga pinjaman maupun bunga simpanan. Perlu diwaspadai, karena bunga tinggi khusus pinjaman ini mencekik.
“Fintech bunganya sampai di atas 18%. Coba itu mencekik sekali. Which is cukup mahal. Kalau bunga mahal, apa bukan rentenir?” jelasnya.
Fintech, lanjut Wimboh, mirip dengan renternir (lintah darat) yang memberikan bunga tak jauh berbeda. Seharusnya masyarakat meminjam di lembaga keuangan yang sudah berdiri dan diawasi bahkan dijaminkan dananya secara undang-undang.
“Perlu hati-hati karena bunga tinggi itu risiko default juga tinggi. Khususnya bagi peminjam di Fintech yang khusus P2P (peer to peer) lending,” tuturnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka