Jakarta, Aktual.com — Pengamat Ekonomi sekaligus Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yenny Sucipto mengatakan bahwa Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 yang saat ini tengah dibahas dapat menjadi tolak ukur dalam realisasi Nawacita yang sejak awal dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Apakah poin satu hingga sembilan dalam Nawacita bisa masuk dalam penyusunan APBN dan cukup konsisten ke rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN), ini pertaruhannya,” kata Yenny di Jakarta, Selasa (27/10).
Menurutnya, proses pembahasan yang saat ini sedang berlangsung di parlemen ini diharapkan bisa mengedepankan kepentingan rakyat. Pasalnya, isi RAPBN harus memikirkan kepentingan rakyat sesuai konstitusi yang berlaku. Artinya APBN nantinya harus dirancang sesuai Pancasila dan UUD 1945.
“Kita lihat apakah proses politis ini dapat mengedepankan kepentingan rakyat,” ucapnya.
Yenny melihat ada beberapa poin krusial dalam pengesahan RAPBN 2016, diantaranya permintaan BUMN dalam Penyertaan Modal Negara (PMN) Rp 44 triliun dan anggaran kesehatan lima persen dari APBN.
Sementara, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra mengimbau kepada para partai Koalisi Merah Putih (KMP) untuk mengkritisi usulan RAPBN 2016. Pasalnya, usulan yang diajukan pemerintah dinilai jauh dari kata realistis.
“Kami mendesak partai KMP bersikap kritis terhadap RAPBN yang diajukan pemerintahan Jokowi,” kata Yusril.
Menurutnya, pemerintah perlu menghitung ulang dan menetapkan kembali asumsi dasar makro ekonomi, sektor penerimaan dan pengeluaran dengan lebih realistis, cermat, jujur dan hati-hati.
Dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2016 yang disampaikan pemerintah, asumsi dasar makro yang digunakan pemerintah tidak realistis, terutama jika dihadapkan pada perkembangan nyata ekonomi makro sebenarnya.
Contohnya pemerintah telah menetapkan angka pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5 persen, laju inflasi 4,7 persen, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp13.400. Serta asumsi dasar minyak mentah Indonesia di pasar dunia dipatok USD60 per barel dengan lifting minyak 830 ribu barel per- hari.
“Itu tidak realistis. Selain itu PBB menilai Nota Keuangan dan RAPBN 2016 yang diajukan pemerintah hampir tidak menggambarkan respon pemerintah, atas menurunnya daya beli masyarakat dan menekan laju inflasi,” tutupnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka