Yogyakarta, Aktual.com – Undang-Undang Keistimewaan (UUK) Daerah Istimewa Yogyakarta dianggap terkait erat dengan pertanahan dan tata ruang yang terkait dengan munculnya konflik agraria.
Kus Sri Antoro, peneliti agraria dari Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA), mengatakan tercatat ada setidaknya 20 konflik agraria dalam dua terakhir akibat munculnya UUK.
Antara lain, megaproyek pembangunan New Yogyakarta International Airport (Kulonprogo), pertambangan pasir besi dan baja (Kulonprogo), Apartemen Uttara The Icon (Sleman) serta penggusuran tambak udang Parangkusumo (Bantul).
Tidak hanya itu, kata dia, konflik agraria juga meliputi diskriminasi rasial/etnis. Berupa pelarangan hak milik atas tanah, perampasan tanah desa melalui balik nama sertifikat, penangguhan permohonan pembatalan penolakan hak atas tanah.
Juga penggusuran pemukiman warga dan pematokan tanah ‘Sultan Ground’ (SG) di Parangkusumo, pengusiran dan pengusiran kios warga di Gunungkidul serta kasus-kasus lain yang belum tercatat.
Kus menilai, UUK ini hanya menjadi legitimasi dari pemberlakuan feodalisme pertanahan di Yogyakarta. “UU ini menghidupkan kembali klaim SG dan PAG (Pakualamanaat Gronden) yang sudah tidak boleh berlaku,” kata Kus, di Yogyakarta, Senin (6/6). Baca: FKMA Menilai Tanah SG dan PAG Tidak Ada Lagi di Yogyakarta
Persoalan bertambah pelik ketika berbagai aliansi warga telah berinisiatif mengadvokasi kasus-kasus yang terjadi tetapi tidak mendapat tanggapan berarti baik dari pemerintah provinsi maupun pusat.
Alih-alih solusi, Pemprov DIY justru menggiatkan proses identifikasi, sertifikasi dan inventarisasi tanah-tanah yang diklaim sebagai SG dan PAG. “Warga (mengadu) sudah sampai DPR RI dan Wantimpres, hasilnya sama saja,” ujar Kus.
Kata dia, dengan adanya UUK, siapapun yang menduduki posisi Gubernur Yogyakarta, akan menguasai seluruh sumber daya (tanah) di Provinsi Yogyakarta dan mengontrol fungsi tata ruang di atasnya. “Jabatan Gubernur memiliki kuasa atas itu.”
Karena makna keistimewaan DIY sebagaimana tertuang dalam UU No 13/2012 terbagi menjadi lima lingkup yang diatur secara otonom. Meliputi pengisian atau tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, kelembagaan atau tata kelola pemerintahan, kebudayaan, pertanahan dan penataan ruang.
Ke-lima lingkup tersebut diterjemahkan melalui Peraturan Daerah yang disebut Perdais (Perda Keistimewaan).
Diketahui, akhir Mei lalu, UUK digugat ke Mahkamah Konstitusi. Penggugat pertama atas nama M Sholeh, seorang pengacara asal Jawa Timur. Penggugat kedua, Raden Wedana Widyo Suryo Satrianto yang merupakan Abdi Dalem Keraton Yogya. Mereka mempermasalahkan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY harus oleh Sultan serta Pakualam yang bertahta.
Artikel ini ditulis oleh:
Nelson Nafis