Jakarta, Aktual.com – Masyarakat Indonesia harus dapat memaknai hijrah dalam pengertian yang sesungguhnya, yaitu berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membangun Indonesia yang damai, rukun antara yang satu dengan yang lain, saling mengenal, memahami, tolong-menolong dan saling bantu membantu. Hal ini agar tidak ada lagi sebagian dari masyarakat bangsa Indonesia ini yang merasa disakiti. Semuanya harus diselesaikan untuk menuju cita-cita Indonesia, negara berdasarkan Pancasila yang rakyatnya makmur dan penyelenggraan negaranya itu dilakukan secara adil.
“Itulah yang digagas, dipikirkan, diperjuangkan dan dibela mati-matian oleh seluruh rakyat Indonesia dengan konsep hijrah, jihad dan niat sejak jaman sebelum kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan hingga saat ini. Ini tentunya untuk membangun sebuah jalan perdamaian yang merupakan jalan terbaik untuk menuju cita-cita bangsa,” ujar Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi DKI, Ahmad Syafii Mufid di Jakarta, Sabtu (15/9).
Lebih lanjut Syafei Mufid menceritakan, di dalam Islam sendiri, peristiwa hijrah merupakan salah satu momen paling bersejarah yang pernah dilakukan Nabi Muhammad SAW saat hijrah dari Mekkah menuju ke Madinah. Hijrah Rasulullah itu dimaknai sebagai pindah tempat yang tidak nyaman atau kondusif untuk berdakwah lalu pindah ke tempat yang dapat menyambut dakwah. Dan ini sebuah peristiwa sejarah yang sangat luar biasa jika dilihat dari sisi perpindahan, dari satu kota ke kota yang lain.
“Apa yang dilakukan Rasulullah itu adalah upaya untuk melepaskan tekanan-tekanan dari kaum jahiliyah itu tidak dilakukan secara frontal seperti dengan peperangan atau konflik meski Rasulullah mendapatkan ancaman pembunuhan. Dalam peristiwa hijrah ini Rasulullah mampu menghindari dari perbuatan yang menjurus kepada aksi kekerasan,” ujar Ketua Komisi Litbang Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini.
Saat itu Nabi pun menurutnya telah menyiasati itu dengan tidak melakukan perlawanan dan tidak memohon kepada Allah agar supaya orang-orang yang mau mencelakainya itu dimusnahkan oleh Allah, bahkan melalui kekuatan gaib juga tidak dilakukan oleh Nabi saat menuju Madinah. Saat tiba di Madinah, Rasulullah kemudian membangun masjid, lalu membangun pasar, supaya ekonomi di Madinah bisa berjalan dengan baik.
“Ada dua hal yang dilakukan Nabi setelah membangun itu, yakni membangun suku-suku yang ada dan tinggal di Madinah itu disatukan melalui misa Al Madinah, melalui perjanjian Madinah atau piagam Madinah yang sangat terkenal itu. Jadi tujuan Rasulullah membangun mesjid itu untuk membangun persaudaraan dengan menyatukan antara kelompok yang berpindah, yang migrasi itu dengan kelompok yang ada di Madinah. Jadi yang dibangun Rasulullah SAW adalah persaudaraan,” ujar Mantan Inspektur bidang Pembangunan Kementerian Agama RI ini.
Dari sini Nabi Muhammad berhasil membangun sebuah komunitas baru yang disebut masyarakat Madinah, masyarakat yang berkeadaban. Setelah itu lalu Rasulullah tahun ke-8 setelah hijrah ke Madinah ini balik ke Mekkah dan. terjadilah peristiwa yang disebut dengan Fathul Mekkah, terbukanya Kota Mekah, tanpa pertumpahan darah.
“Ini sebuah contoh betapa manusia yang diusir, yang diancam akan dibunuh itu bisa datang kembali dengan penuh kasih sayang, penuh toleransi dan kemanusiaan yang tinggi. Dan mengakhibahwri puisi kenabian atau Haji Wada.yang sejatimya bisa disebut dasar dari Declaration of Human Rights, yang mana beliau mengatakan ‘pada hari ini diharamkan untuk kamu, darah kamu, harta kamu dan seterusnya. Perempuan-perempuan harus dimuliakan, tidak ada balas dendam lagi, tidak ada riba, tidak boleh berzina, itu semua disampaikan oleh Rasullulah dalam pidato Wada nya,” ujarnya.
Dari apa yang dilakukan Nabi Muhammad itulah sejatimnya masyarakat bangsa Indonesia dapat memaknai hijrah itu sebagai momentum untuk menjaga persatuan yang tentunya untuk kepentingan bangsa yang lebih besar lagi dalam membangun negeri ini
“Kalau kita melakukan Muhasabah dalam rangka memaknai hijrah itu, lalu tidak ada hijrah fisik semacam itu kecuali ada jihad dimana negara memanggil kita untuk berjuang misalnya negara memerintahkan kita tidak perang sesungguhnya, tetapi tetapi perang melawan kemiskinan itu ada hijrah yang namanya transmigrasi, perpindahan penduduk ya kita ikut,” ujarnya.
Menurutnya, kalau seperti transmigrasi itu ada hijrah orang Jawa, Bali dan orang-orang yang daerah penduduknya padat, dipindahkan ke tempat lain itu dapat diartikan sebagai penyatuan bangsa. Dimana masyarakat Indonesia adalah satu bangsa baik dari Sabang sampai Merauke yang berada di tanah air Indonesia.
“Orang yang dari tempat lain juga bisa saja hijrah atau pindah ke Jakarta karena panggilan tugas. Itul adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk keluar dari kemiskinan, usaha untuk keluar dari kebodohan, usaha yang sungguh-sungguh untuk membuat negara bangsa dan keluarga serta dirinya lebih baik daripada hari-hari sebelumnya,’ ujar pria yang juga Direktur Indonesia Institute for Society Empowerment (INSEP) ini.
Menurutnya, itulah sesungguhnya yang menyatukan bangsa apalagi kalau didasarkan atas niat, yang semua dilakukan selama ini dan nanti yang akan datang itu harus diniatkan dengan sungguh-sungguh. Yang mana diniatkan bahwa semua upaya ini adalah untuk kesejahteraan baik untuk individu maupun untuk bangsa dan negara. Karena kalau individu-individu ini sejahtera maka akan terjadi kesejahteraan terhadap bangsa dan negara yang menjadi cita-cita awal proklamasi kemerdekaan Indonesia.
“Itulah yang disebut dengan memaknai hijrah. Jad marilah kita menyadari bahwa meski kita ini belum menjadi negara yang maju seutuhnya, maka untuk itu kita niatkan bagaimana kita menjadi negara yang maju. Kita ini masih disandera oleh perbuatan-perbuatan yang tidak baik, misalnya narkoba, korupsi, terorisme. Kita harus keluar, harus niatkan untuk katakan tidak ada lagi negara kita ini ada kemiskinan, narkoba, korupsi, terorime dan sebagainya. Makna hijrah itu ya disitu,” ujar Peneliti senior di Badan Litbang dan Diklat Kemenag ini.
Bahkan menurutnya, mengatakan Tidak ada tempat bagi Terorisme itu juga dapat dimaknai sebagai hijrah. Kalua ada orang-orang yang mempunyai perasaan pro kepada aksi terorime tentunya harus berpikir ulang kalau hal tersebut di memaknai sebagai jihad. Karena sejatinya tidak ada jihad dengan cara-cara teror semacam itu.
“Kekeliruan-kekeliruan semacam itu banyak terjadi, coba kapan ada sejarah Nabi dan para sahabat nabi melakukan teror? Kalau Nabi di teror iya, Tidak ada itu yang mengatasnamakan Islam lalu melakukan aksi teror. Kita sekarang itu berdakwah, mengajak kejalan Allah dengan kearifan, tidak dengan teror tidak dengan kekerasan,” ujarnya mengingatkan.
Bahkan menjelang Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden pada 2019 mendatang dirinya mengajak kepada seluruh komponen masyarakat untuk menjaga perdamaian. “Marilah kita semua menyebarkan kebaikan, berargumenlah dengan baik, jangan dengan model hoax itu. Ini semua untuk menjaga persaudaraan seperti yang sudah dicontohkan Rasulullah tadi,” ujarnya mengakhiri.