Jakarta, Aktual.com – Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mencatatkan torehan kelam yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2014-2019 sepanjang tahun 2016 ini. Mulai dari bergantinya Ketua DPR sebanyak 2 kali dalam setahun, revisi UU MD3 berulang-ulang, pembahasan APBN/APBN-P yang sarat transaksional, hingga pengawasan yang mandul dan tidak mampu memperbaiki kelemahan.
Selain itu, DPR juga dinilai sigap bekerja jika menyentuh kepentingannya sendiri namun lambat ketika menyangkut kepentingan rakyat. Citra lembaga legislatif itu semakin buram akibat malasnya anggota dewan untuk hadir dalam rapat-rapat, baik rapat kerja, rapat dengar pendapat ataupun rapat paripurna. Tapi tidak malu untuk terus menuntut kenaikan tunjangan dan fasilitas lainnya.
“Secara total, DPR hanya bekerja selama 183 hari kerja sepanjang tahun 2016,” ujar Peneliti Formappi Bidang Sarana dan Prasarana, I Made Leo Wiratma di Matraman, Jakarta Timur, Kamis (22/12).
Dari segi pimpinan DPR yang berganti dua kali, Formappi memandang, ada perbuatan “suka-suka” ketika mengambil sebuah kebijakan. Saat mulai menjabat untuk pertama kalinya sebagai Ketua DPR, Setya Novanto membuat tradisi dimana dalam setiap pembukaan masa sidang DPR menyampaikan rencana yang hendak dilakukan ke depan dan menjelaskan capaian DPR pada penutupan sidang.
Namun, penggantinya Ade Komarudin tidak lagi melanjutkan tradisi itu tapi justru mengambil kebijakan baru. Seperti memperpendek masa reses dari 1 bulan menjadi dua minggu, memperpanjang waktu sidang, memperketat kunjungan keluar negeri dan menetapkan target menyelesaikan 3 RUU bagi setiap komisi dalam satu tahun. Sementara, setelah Novanto menjadi Ketua DPR lagi, masa reses dikembalikan menjadi 1 bulan dan membuka ‘keran’ kunjungan keluar negeri.
“Jadi Ketua DPR tidak memiliki sistem kebijakan yang kuat karena bisa diubah sewaktu-waktu sesuai dengan selera Ketua DPR,” cetusnya.
Kemudian secara kelembagaan, meski relatif lebih tenang dari tahun 2015, namun DPR belum juga solid sebagai lembaga negara sehingga memiliki “bargaining position” yang rendah ketika berhadapan dengan pemerintah. Bahkan, konflik terus muncul, seperti perebutan mitra kerja antar komisi di DPR, perebutan pimpinan Alat Kelengkapan Dewan (AKD), termasuk kursi pimpinan DPR.
“Akibatnya banyak energi dan waktu yang terbuang percuma. DPR memang seharusnya ‘gaduh’ tetapi bukan untuk mencari kekuasaan tapi memperjuangkan aspirasi rakyat,” tegas I Made Leo.
Sementara jika ditilik dari pelaksanaan fungsi-fungsi, misalnya Fungsi Legislasi, evaluasi hasil kinerja tahunan DPR pun mendapat nilai “buruk”, seolah membuat mereka tak perlu mengubah strategi perencanaan dengan menyusun daftar realistis yang mengacu pada kebutuhan prioritas bangsa secara menyeluruh.
“Trend kerja legislasi DPD juga cenderung semakin menurun dari masa sidang awal tahun hingga akhir tahun,” katanya.
Untuk Fungsi Anggaran, pembahasan anggaran dan korupsi anggota DPR terus berulang. Formappi menilai, proses penganggaran negara (pembahasan APBN) di DPR masih menyisakan persoalan terkait dengan transparansi, akuntabilitas, praktek suap dan korupsi.
“Pada tahun 2016, beberapa anggota DPR di Komisi yang berbeda tertangkap tangan dengan modus yang sama. Yakni minte ‘fee’ untuk menggoalkan proposal proyek atau penambahan alokasi anggaran dalam APBN,” jelas dia.
Terakhir, dalam Fungsi Pengawasan. Selama tahun 2016, DPR memang gencar melakukan pengawasan melalui rapat-rapat kerja maupun dengar pendapat. Namun, kinerja pengawasan terhadap kebijakan pemerintah kebanyakan tidak efektif.
Seperti pembuatan panja-panja, harusnya bersifat ad hoc untuk menangani hal mendesak. Tetapi panja tersebut menjadi tidak jelas karena bila susah selesai panja tidak dibubarkan. Bahkan outpunya tidak kelihatan.
Sedangkan pengawasan pelaksanaan UU, justru lebih dititik beratkan pada UU bidang politik. Misalnya, UU MD3 dan UU Pilkada. Sedangkan UU diluar bidang politik tak ditanggapi dengan serius.
“Jadi DPR mandul dan tidak mampu memperbaiki kelemahan,” pungkas I Made Leo.
Nailin In Saroh
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan