Jakarta, Aktual.com — Forum Kilometer Nol Borobudur menggelar kepada publik sejumlah karya tarian kontemporer dengan penari berasal dari sejumlah kota di Pendopo Duniatera dekat Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (14/2) malam.

“Tarian kontemporer terus berproses sehingga semakin diterima oleh publik sebagai suguhan yang menarik,” kata koreografer tari yang juga lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Nungki Nur Cahyani, kepada wartawan, di Borobudur, Minggu (14/2) malam.

Ia mengatakan hal itu setelah menyuguhkan tarian kontemporer berjudul “Gray” dalam rangkaian pementasan hingga menjelang tengah malam itu di Pendopo Duniatera sekitar 500 meter timur Candi Borobudur Kabupaten Magelang.

Saat mementaskan tarian kontemporer “Gray” itu, Nungki seorang diri dengan menggunakan properti “dingklik” dan iringan rekaman musik modern, sedangkan gerakan tubuhnya tampak mengeksplorasi ruang pendopo yang dipenuhi para penonton berasal dari berbagai kalangan, seperti seniman, mahasiswa, penikmat seni, wisatawan Nusantara dan mancanegara, dan beberapa komunitas seniman lainnya, terutama di sekitar Candi Borobudur dan Magelang.

Ia mengatakan penari yang membawakan karya kontemporer tidak melepaskan diri dari penguasaan atas “tarian pakem” untuk kemudian mengembangkan diri dengan tarian berbasis modern.

Pada kesempatan itu, ia menyebut sejumlah koreografer terkenal untuk karya-karya tarian kontemporer, terutama di Solo dan Yogyakarta.

“Kami juga mengalami masa-masa berproses dengan para maestro itu,” ujar Nungki yang pernah menempuh pendidikan lanjutan di Jurusan Media and Cultural Studies Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu.

Sejumlah penari dari Grup Nia Dance Klab Yogyakarta yang terdiri atas Dania, Echa Wahyuni, Febri, Rani, Aulia, dan Elviana dengan koreografer Upik Assabti pada pementasan ke-11 FKN Borobudur menampilkan jenis tarian kontemporer “Animal Pop” berjudul “Panggung Menjangan”.

“Karya ini mengeksplorasi binatang menjangan, inspirasinya dari situs Kandang Menjangan (Panggung Krapyak) di Krapyak, Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta,” kata koreografer Upik usai grupnya menyuguhkan karya tersebut.

Karya tari yang mengandalkan gerakan lincah bagian kaki, tangan, dan tubuh bagian atas untuk mengeksplorasi perilaku menjangan.

Situs Kandang Menjangan, katanya, pada masa lampau berupa hutan Krapyak, sebagai lokasi berburu para raja Kerajaan Mataram. Sultan Hamengku Buwono I lebih dari 250 tahun lalu kemudian membangun tempat bernama “Panggung Krapyak” sebagai tempat peristirahatan.

“Tarian Panggung Menjangan menggambarkan suasana perburuan menjangan dengan mengeksplorasi gerak-gerak menjangan dan keprajuritan. Tarian ini memang mengangkat dan mengemas kekayaan akar budaya menjadi lebih menarik,” katanya.

Pada sesi kedua pementasannya, Upik secara perorangan menyuguhkan tarian kontemporer berjudul “fabelogi” yang merupakan kemasan gerakan satwa secara global, antara lain jenis binatang melata, unggas, dan mamalia.

“Tidak spesifik binatang tertentu tetapi geraknya sudah melewati pakem, tidak hanya menyangkut bentuk gerak, tetapi juga menyangkut ruang. Banyak cerita rakyat kita tentang binatang-binatang yang bisa menginspirasi menjadi tarian,” katanya.

Pada kesempatan itu, penari dari Jogja Deaf Dancer Indonesia, Chaca Nini Mranggi, menyuguhkan satu karya gerak tari modern dan kolaborasi dengan iringan rekaman musik modern.

Komunitas Ilmu Sosial dan Seni Universitas Negeri Semarang bersama Grup Bengkel Seni Universitas Tidar Magelang yang terdiri atas Ayu Nur Adilla, Irawati Endar Anjangmas, Laras Nugraheni, Devi Tri Meilinawati, dan Desy Tri Merinawati menyuguhkan tarian Sesonderan dari Jawa Timur yang merupakan gerakan tarian untuk penyambutan tamu

Artikel ini ditulis oleh:

Antara