CEO Freeport McMoran Richard Adkerson (ketiga kiri) bersama Direktur Utama Inalum Budi Gunadi (ketiga kanan) melakukan penandatangan Head of Agreement (HoA) dalam rangka pengambilalihan saham PT Freeport Indonesia Perjanjian awal berupa Head of Agreement (HoA) disaksikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, di gedung Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Kamis (12/7). Pemerintah Indonesia melalui PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) merogoh kocek US$3,85 miliar atau setara Rp55 triliun (asumsi kurs Rp14.400 per dolar AS) untuk menggenggam 51 persen saham PT Freeport Indonesia. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman menilai seharusnya Pemerintah dan penegak hukum menindaklanjuti hasil temuan dan perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan terkait kewajiban PT Freeport Indonesia membayar kerusakan lingkungan mencapai Rp185 triliun. Pasalnya, hingga saat ini pemerintah tidak memiliki tindakan tegas untuk mengatasi persoalan ini, justru malah melakukan pembelian saham Freeport senilai Rp55 triliun.

“Wah bodoh banget. Kita harus keluar uang Rp55 triliun untuk menguasai saham PT Freeport Indonesia. PT Inalum harus berutang pada empat lembaga keuangan mencapai Rp77 triliun karena Rp55 triliun hanya sebatas membeli saham PI saja, belum modal 51% dari USD6 miliar,” jelas Yusri di Jakarta, Minggu (15/7).

Menurut Yusri, temuan BPK yang hampir setahun ini patut dipertanyakan mengingat dugaan pelanggaran tersebut berkaitan dengan penyalah gunaan izin penggunaan kawasan hutan lindung dan perubahaan ekosistem akibat limbah operasional tambangnya. Padahal BPK sudah merekomendasi temuan tersebut kepada kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian ESDM.

“Ada konsekwensi kalau tidak ditindaklanjuti, artinya diduga melakukan pembiaran dan bisa dijerat pasal pidana korupsi,” jelasnya.

Selain temuan BPK terkait persoalan lingkungan, hal lain yang perlu diperhatikan adalah progress pembangunan smelter. Menurut ketentuan UU minerba nomor 4 tahun 2009, Freeport seharusnya sudah mengolah hasil tambang melalui smelter di Indonesia.

“Itu karena pemerintah tidak tegas terhadap aturan perundang-undangan yang sudah disepakati, sehingga tak salah PT FI meremehkan Indonesia dan tidak takut untuk melanggarnya,” jelas Yusri.

Menurutnya, pembangunan smelter semakin jauh dari harapan ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 13 tentang “Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenai Bea Keluar & Tarif Bea Keluar” telah memasang tarif bea 5 hingga 7,5 % untuk konsentrat dan mineral mentah, sementara untuk kulit sapi dan kerbau dikenakan 25 %.

“Apakah adil dan benarkah kebijakan itu,” tegas Yusri.

Padahal, lanjutnya, mengacu pada PMK nomor 153/PMK.011/2014 yang merupakan perubahan ketiga dari PMK 75/PMK.011/2012 seharusnya kepada ekspor konsentrat dan mineral mentah saat ini sudah dikenai bea 60%.

“Jadi sangat pantas PT FI meremehkan bangsa kita, karena semua aturan itu mudah diubah-ubah,” terangnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka