Jakarta, Aktual.co — Direktur Eksekutif Indonesia Mining and Energy Studies (IMES) Erwin Usman meminta Pemerintah untuk mengkaji ulang poin-poin yang tercantum dalam nota kesepahaman (MoU dengan PT Freeport Indonesia (PTFI). Pasalnya, diyakini masih banyak poin-poin yang disepakati itu tidak dijalankan oleh Freeport.
Menurutnya, dari beberapa poin yang belum dijalankan hingga saat ini, ada satu poin penting yang bisa dipakai bangsa Indonesia untuk menggugat Freeport ke jalur hukum.
“Adalah poin terkait persayaratan adiministratif, teknis, finansial dan pengelolaan lingkungan,” kata Erwin dalam diskusi terbatas di Jakarta, Kamis malam (29/1).
Ia menjelaskan, sebagai perusahaan tambang, Freeport terbukti belum ramah lingkungan. Pasalnya, hingga saat ini Freeport masih melakukan pelanggaran ‘Submarine tailing disposal’, yaitu membuang limbah hasil tambang ke lingkungan.
“Freeport buang di Sungai Wanagon dan Ajkwa. Terbukti bagaimana tercemarnya sungai itu, padahal di dunia internasional sudah banyak dilarang, termasuk Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam UU nomor 32 tahun 2009,” ujar dia.
Ia menuturkan bahwa dengan UU tersebut, Pemerintah Indonesia seharusnya bisa lebih tegas dalam menyikapi Freeport.
“Dengan UU nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Kementerian Lingkungan Hidup seharusnya bisa melakukan pengkajian terkait kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh Freeport. Itu juga bisa dikaji melalui dokumen kajian lingkungan hidup strategik (KLHS),” tutupnya.
Perlu diketahui, berdasarkan MoU, Freeport wajib memenuhi kewajibannya dalam amandemen Kontrak Karya (KK) sebagai berikut:
1. Pengolahan dan pemurnian dalam negeri
2. Kewajiban penggunaan tenaga kerja lokal, barang-barang dan jasa dalam negeri
3. Penyesuaian luas wilayah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
4. Penerimaan Negara
5. Divestasi
6. Persayaratan adiministratif, teknis, finansial dan pengelolaan lingkungan.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka