Jakarta, Aktual.com – Sebagaimana sudah menjadi rutin, kita memperingati tanggal 14 Agustus 1961 adalah sebagai Hari Lahirnya Pramuka, atau jika dipanjangkan menjadi “Praja Muda Karana” yang maknanya, adalah; “Yang Muda Yang Berkarya/ Mengabdi”.

Ya, mengabdi kepada bangsa dan negara Republik Indonesia. Sungguh mulia hakikat dan jatidiri keberadaan Pramuka itu sebagai tunas-tunas bangsa. Pramuka atau yang secara internasional biasa disebut juga sebagai Gerakan Kepanduan, juga mempunyai peranan penting dalam gerakan-gerakan sosial kemasyarakatan, kerakyatan dan pergerakan kebangsaan Indonesia menuju kemerdekaan Indonesia dan mengisi kemerdekaan Indonesia.

Organisasi sosial kemasyarakatan dalam pergerakan kebangsaan Indonesia, juga mempunyai Gerakan Kepanduan seperti antara lain; yang dimiliki NU dan Muhamadiyah. Bahkan Panglima Besar Soedirman, sebelum bergabung ke dalam PETA di jaman Pendudukan Jepang, beliau juga aktif di dalam gerakan kepanduan Muhamadiyah. Pemerintah Pendudukan Jepang-pun, mendirikan gerakan kepanduan yang disebut Seinendan. Organisasi gerakan ini, mengalami perubahan-perubahan nama, model, warna, dan sistem pengrorganisasiannya sejak jaman Hindia Belanda, jaman Jepang, Jaman RI hingga pada tanggal 14 Agustus 1961 menjadi Pramuka yang kemudian dikonsolidasikan dalam satu wadah tunggal yang bersifat nasional.

Pada awalnya sejak jaman Hindia Belanda, bentuk pengorganisasiannya bermacam-macam mulai dari yang amat heterogen, kemudian disatukan dalam federasi, lalu kemudian disatukan dalam satu wadah tunggal sejak 14 Agustus 1961 menjadi satu wadah tunggal seperti yang kita hingga kemudian dibenarkan kembali menjadi beraneka ragam beraneka macam lagi dengan lahirnya No. 12 tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka.

Dengan UU ini, maka Pramuka tidak lagi menjadi wadah tunggal yang solid yang efektif diorganisir, tetapi organisasi profesipun atau organisasi apapun boleh dan dibenarkan membentuk gerakan Pramuka menurut keinginan organisasi induknya. Dengan begitu, sebenarnya terjadi “fragmentasi” dan individualisasi organisasi, sehingga secara tidak kita sadari terjadi pelemahan gerakan Pramuka secara sistematis.

Nah, ini tak lepas dari apa yang Penulis sebut sebagai liberalisasi, demokratisasi dan kebebasan berserikat versi individualisme barat yang terlahir dari rahimnya Reformasi 1998. Artinya, ada upaya pelemahan dan pendegradasian peran Pramuka secara sistematis, bertahap, dan efektif tanpa disadari oleh para pemimpin negeri ini dan bahkan oleh Pramuka itu sendiri, termasuk oleh generasi muda Indonesia. Hal ini bukan saja melanda Pramuka, tetapi juga berbagai organisasi profesi, termasuk organisasi olahraga nasional.

Sudah ada KONI, dibuat KOI dan adapula PRIMA, dan organisasi profesi lainnya juga demikian, dipecah-pecah atas nama demokrasi dan kebebasan berserikat. Jika dibiarkan, ini akan semakin “membelokkan” haluan RI ke arah kanan, kea rah neo-liberalisme sesuai dengan keinginan kaum kanan liberal yang menjadi pemenang yang sesungguhnya dari Reformasi 1998.

Wahai para pemimpin negeri ini dan generasi muda, sadarilah bahwa hal ini sebagai bagian dari skenario besar untuk “menenggelamkan” Pancasila menjadi tinggal kenangan saja. Tak ayal, jika kita lalai dan memandang sepi hal ini, maka RI ke depan bisa jadi hanya Replika dan Reinkarnasi Negara Hindia Belanda belaka. Sebab memang, banyak kekuatan eksternal yang tidak menghendaki RI kuat. Lihatlah, apa yang terjadi sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 hingga sekarang, peristiwa demi peristiwa yang memang tidak menghendaki RI kuat dan besar.

Penulis berkeyakinan, bahwa Presiden Joko Widodo dan jajaran kabinetnya memang mempunyai “tugas sejarah” yang amat luhur, mulia dan berat di dalam posisi kapal RI yang haluannya telah jauh di kanan, yaitu; tugas sejarah mengembalikan haluan negara RI di segala bidang kembali kepada REL Pancasila. REL Pancasila inilah, yang harus menjiwai semua jiwa atas berbagai regulasi apapun di negeri ini.

Tampaknya, tak berlebihan jika Penulis katakan, bahwa Presiden Joko Widodo, harus melaksanakan tugas sejarah itu dengan melakukan “Politik Banting Stir Nasional” ke kiri, supaya RI ini, benar-benar berada di tengah kembali, ialah; pada REL Pancasila. Inilah hakikat daripada Revolusi Mental untuk mengamalkan Pancasila sebagai Way of Life bangsa dan sekaligus sebagai Ideologi bangsa dan negara yang menjadi RUH daripada setiap regulasi yang ditetapkan DPR bersama pemerintah RI.

Pelaksanaan Revolusi Mental ini, dapat dilakukan dengan biaya sosial dan biaya finansial yang relatif efisien dan efektif, dengan memfungsikan kembali Pramuka sebagai basis terdepan Gerakan Revolusi Mental yang harus dilaksanakan mulai dari tingkat PAUD, SD, SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi dengan cara yang kreatif dan inovatif.

Karena itu, UU No. 10 tahun 2012 tentang Gerakan Pramuka yang mendegradasikan PRAMUKA itu, harus segera cabut dan diganti dengan UU yang bersengatkan pada kolektivisme dan jiwa kebangsaan Indonesia. Lalu buat SKB (Surat Keputusan Bersama) Tiga Menteri, yakni; Menpora, Mendikdasmenbud, Menristek & Dikti dan Kemenko PMK untuk menjadikan Pramuka sebagai garda terdepan dan paling basis atau grassroot pada anak-anak, remaja dan generasi muda dalam suatu Gerakan Revolusi Mental secara berkelanjutan. Bila perlu dibuat Peraturan Presiden untuk menjamin keberlanjutan Gerakan Revolusi Mental itu berjalan sebagai apa yang Penulis sebut “INVESTASI IDEOLOGI BANGSA”.

Dengan begitu, Revolusi Mental akan menjadi gerakan yang dimulai dari tingkat PAUD, SD, SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi menjadi satu gerakan nasional. Instrumennya sudah ada, untuk s/d tingkat SLTA, ialah; PRAMUKA, tinggal “dialirkan listrik”, sehingga terjadi pergerakan yang nyata dan berkelanjutan daripa Revolusi Mental itu. Biaya stimulant dapat diambil dari Kemdikdasmenbud dan Kemristekdikti yang penya 20% APBN. Gerakan Pramuka dalam wadah tunggal itu diwajibkan dengan atau Peratujran Presiden, misalnya pada hari Sabtu, anak-anak sekolah wajib berlatih Pramuka untuk mengajarkan nilai-nilai kebangsaan, ketangkasan, kepemimpinan, keterampilan, baris berbaris, sopan santu dan etika dalam praktek dengan muatan lokal, seperti kebaharian, pertanian dan lain-lain sesuai kondisi daerah masing-masing. Gerakan Revolusi mental harus “disemaikan” mulai dari tingkat PAUD, SD, SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi dengan cara kreatif dan inovatif sebagai investasi pada tumbuhnya dan terpeliharanya kesadaran ideologi bangsa berdasakan Pancasila.

Gerakan Pramuka harus dioptimasikan menyemaikan benih-benih Pancasila melalui Gerakan Revolusi Mental di tiap jenjang dan jalur pendidikan. Pengadaan seragam Pramuka, diatur di Kabupaten/ Kota saja, tidak perlu diatur dari pusat, karena akan menjadi proyek, cukup di Kabupaten/ Kota, tetapi anggaran pendidikan itu bisa difungsikan dan didesign untuk menjamin terlaksananya Gerakan Revolusi Mental secara Berkelanjutan dan Efektif. Inilah investasi ideologi bangsa yang merupakan tugas sejarah Kepresidenan Joko Widodo beserta Kabinetnya dan yang wajib membuat kebijakan-kebijakan dan regulasi yang dihasilkan berdasarkan RUH Pancasila.

Jadikan Pramuka sebagai Instrumen dan Garda Terdepan pada Tingkat Paling Basis Untuk Memastikan Pelaksanaan Revolusi Mental Secara Berkelanjutan. Benih Ini Kutabur, Semoga Tumbuh Subur!!! Dirgahayu Pramuka, Jayanya Pramuka Jayanya NKRI, MERDEKA!!! Mari kita Bangun Jiwa Yang Merdeka!!! Dan Bukan JIwa Yang Medeka sekedar Merdeka Sekali, BUKAN!!!, Tetapi Berjiwa Merdeka yang Berkebangsaan Indonesia berjiwa Pancasila dan bersemangatkan Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai Penjelmaan dari The New Emerging Force.

Oleh:
Ganjar Razuni
Lektor Kepala FISIP Universitas Nasional
Pemerhati Gerakan Kepemudaan dan Olahraga serta
Wakil Sekertaris Dewan Pakar DPP Partai GOLKAR
(Pendapat Pribadi, belum tentu Mencerminkan lembaga
dimana Penulis Bernaung)

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid