Wacana pemerintah memotong gaji ASN untuk zakat tersebut pun tampaknya dianggap zolim oleh mantan Ketua Mahkamah Konstritusi, Mahfud MD. Menurutnya, negara sudah telalu jauh untuk mengurusi hal ini dengan mengeluarkan Peraturan Presiden.

“Negara tidak perlu terlalu banyak ikut campur karena kita sudah punya Baznas (Badan Amil Zakat Nasional) atau Bazda (Badan Amil Zakat Daerah). Tidak usah memakai Perpres yang merugikan pegawai,” kata Mahfud di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Sabtu (10/2/2018).

Wacana penerbitan Perpres untuk mengatur zakat bagi ASN, menurut Guru Besar Fakultas Hukum UII itu, justru bisa menjadi perampasan hak secara tidak sah jika syarat sesuai hukum Islam belum terpenuhi. Di dalam zakat, menurut dia, ada dua syarat yang harus terpenuhi. Pertama, kekayaan yang mengeluarkan zakat harus mencapai nishab atau setara 85 gram emas atau senilai Rp49 juta serta mengendap satu tahun (haul).

“Sehingga menurut saya keliru kalau tiba-tiba ada Perpres memotong 2,5 persen penghasilan pegawai negeri baik dari gaji pokok maupun seluruh pendapatannya,” kata tokoh Nahdlatul Ulama (NU) ini.

Dengan demikian, Mahfud mengatakan apabila ada inisiatif untuk mendorong zakat melalui Perpres sebaiknya ada pemilahan. ASN dengan golongan 1, 2, dan 3. Menurut dia, sudah dipastikan tidak bisa dipotong karena besaran gajinya belum mencapai nishab maupun haul. Apalagi, pegawai negeri itu gajinya tidak pernah mengendap alias sebelum keluar, gajinya sudah kas bon, sehingga bila dipotong 2,5 persen mereka dzalimi.

Apabila zakat ASN pada akhirnya hanya berbentuk himbauan dan bersifat sukarela maka tidak perlu diatur dengan Perpres. “Pegawai itu kan orang birokrat yang takut melampaui hierarki sehingga kalau dipotong, dia tidak berani melawan,” katanya.

Sementara, Organisasi massa Islam Mathla’ul Anwar (MA) yang berbasis di Banten menyarankan untuk dilakukan “ijtihad fiqhiyah” sebagai solusi bagi polemik penarikan zakat ASN dari gaji. “Iijtihad fiqhiyah” atau mencurahkan segala kemampuan ini untuk menjadi solusi secara fikih perlu dilakukan dalam kondisi posisi negara seperti saat ini.

“Dari ‘ijtihad fiqhuzzakat’ itulah akan ditemukan jawaban dari berbagai persoalan. Umpamanya apakah boleh pembiayaan infrastruktur diambil dari zakat,” katanya ketika dihubungi, Minggu (11/2/2018).

Zainal juga fokus pada pertanyaan lain yang lebih substantif, misalnya bolehkah hasil zakat dijadikan sebagai sumber pemasukan negara yang nyata-nyata negara bukan mendasarkan kepada agama. Selain itu pada persoalan terkait penyaluran zakat itu hanya kepada masyarakat muslim saja atau bisakah juga untuk digunakan kepentingan umum tanpa memandang agama yang dianutnya.

“Mudah-mudahan hal ini bisa dikaji di antara para ulama untuk bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu,” katanya.

Zainal menegaskan sejatinya persoalan penarikan zakat oleh negara dalam syariat Islam itu merupakan suatu keharusan. Ayat 103 pada Surat At Taubah secara tekstual memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan ketika itu untuk memungut shadaqah (zakat) dari para ahgniya.

“Kalimat perintah mengandung arti kewajiban yang atas dasar itu Khalifah Abubakar di masa kekhalifahannya memerangi orang yang tidak mau berzakat. Persoalannya adalah apakah zakat sebagai pengganti pajak,” katanya.

Dalam konteks historis pada masa kekhalifahan, kata dia, setidaknya bagi khalifah-khalifah yang empat yakni Abubakar, Umar, Ustman, dan Ali tercatat tidak ada istilah pajak di luar zakat kalaupun ada yang dianggap seperti pajak adalah kewajiban bagi non muslim untuk membayar “jizyah” dengan batasan-batasan tertentu.

Ia menambahkan, kegunaan zakat itu disalurkan dalam kepentingan publik setidaknya untuk delapan asnaf yang disebutkan dalam Al Quran terkait penyalurannya. “Kebijakan seperti itu dalam konteks politik negara yang menjadikan syariat agama Islam sebagai rujukannya. Sementara kita sekarang di Indonesia yang tidak mendasarkan negara kepada agama tertentu, apakah zakat itu hanya untuk kepentingan komunitas muslim,” katanya.

Terlebih kata dia, karena sumbernya memang diambil dari masyarakat Islam yang dengan alasan itu ada kesulitan untuk membebaskan pajak dari orang yang berzakat karena pajak adalah sumber utama bagi pemasukan negara. Oleh karena itulah ia menekankan pentingnya melakukan “ijtihad fiqhiyah”.

Dengan demikian harus ditijau ulang kembali. “Wacana kebijakan tersebut harus ditinjau ulang,” kata Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini melanjutkan.

Persoalan kewajiban zakat merupakan kewajiban pribadi setiap muslim. Maka dalam menunaikan zakat, pelaksanaan kewajiban itu semestinya bersifat individual dan tidak perlu melibatkan negara.

“Tentang zakat setiap warga negara sebaiknya diserahkan kepada masing-masing individu. Negara tak perlu memaksa-maksa, karena Indonesia bukan negara agama. Begitu pula dengan salat, puasa, adalah urusan manusia dengan Tuhannya,” kata Helmy.

Penting juga, katanya, untuk dikaji lebih dalam mengenai pertimbangan bahwa Indonesia bukan negara yang dikelola berdasar keyakinan agama tertentu. “(Indonesia) Negara yang bhinneka, kebijakannya juga harus memertimbangkan kebhinnekaan,” ujar Helmya melanjutkan.

Catatan lain dari Helmy adalah soal mekanisme dan transparansi pengelolaan dana zakat yang sudah terkumpul. Bukan tidak mungkin hal itu menjadi masalah besar. “Belum lagi bagi sebagian ASN sudah memiliki pos-pos mustahik (penerima zakat) sendiri,” ujar dia.

Meskipun demikian, dia mengimbuhkan, jika pemerintah tetap menerapkan kebijakan pemotongan gaji ASN untuk zakat, maka sebaiknya kewajiban membayar zakat bisa terintegrasi dengan pajak. “Kalaupun pemerintah ikut memfasilitasi zakat ASN, maka sebaiknya perlu dipikirkan pembayaran zakat itu dapat dikonversikan sebagai bagian dari pajak penghasilan,” ujar dia menambahkan.

Sementara, Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak menganggap, pemerintah perlu berhati-hati dalam menyusun peraturan mengenai pemotongan gaji ASN untuk zakat ini.

“Jangan sampai PNS-PNS yang tidak wajib zakatpun dipotong penghasilannya,” kata Dahnil.

Jika hal itu terjadi maka negara berlaku zalim terhadap masyarakat. Untuk itu, dia menyarankan pemerintah membuat mekanisme yang ketat sehingga pemotongan gaji ASN menerapkan prinsip keadilan. Negara, lanjut dia, harus benar-benar mempertimbangkan unsur terpenuhinya haul dan nisab zakat ASN dalam menerapkan peraturan.

Nisab adalah jumlah harta benda minimum yang dikenakan zakat. Sedangkan haul adalah jangka waktu satu tahun yang menjadi batas kewajiban membayar zakat bagi pemilikan harta kekayaan, seperti perniagaan, emas dan ternak.

“Ketika negara memotong gaji PNS sembarangan tanpa ‘tebang pilih’ mana yang mencapai nisab atau tidak, maka itu jelas perbuatan zalim. Kecuali negara memotong untuk sedekah misalnya, tapi sedekah tentu dengan kesukarelawanan tidak ada paksaan seperti zakat,” kata dia.

Zakat sendiri bisa dibayar per bulan atau per tahun. Akan tetapi, banyak ulama yang menyarankan agar zakat dibayarkan setelah penghasilan diterima, artinya per bulan. Sehingga, kata Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antar Agama dan Peradaban (UKP-DKAAP) Din Syamsuddin, negara, tak perlu mengurusi soal zakat. Apapun yang akan dilakukan pemerintah, lanjutnya harus berdasarkan hukum.

“Sepengetahuan saya belum ada, maka harus disiapkan dulu landasan hukumnya. Setuju nggak DPR? Tentu kalangan Islam ada berbeda pendapat. Tapi ada yang tidak setuju demikian sudah dilakukan oleh ormas, masyarakat, nggak usahlah negara ikut mengurus hal-hal seperti itu,” kata Din di Grand Sahid Jaya, Jakarta, Kamis (8/2/2018).

Din yang juga menjabat itu mengatakan, urusan zakat seluruh masyarakat Indonesia tak mesti diatur oleh negara. Namun, bila untuk PNS muslim, dia menyerahkan hal tersebut kepada pemerintah.

“Kalau saya ditanya seperti itu negara nggak usahlah urus seperti itu. Tapi yang jelas PNS Muslim itu silakan lah itu punya negara, tapi kalau semuanya biarlah menjadi masyarakat Islam lewat ormas Islam,” kata dia menambahkan.

Target Pertumbuhan Ekonomi Belum Berhasil?