Kebijkan yang diambil pemerintah dianggap Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI Fadli Zon, karena banyak target pada indikator perekonomian Indonesia yang dicapai pemerintahan Jokowi belum berhasil. Sehingga, pemerintah “membidik” berbagai lini untuk pemasukan kas negara.
“Kok bisa jadi menteri keuangan terbaik ketika target tak ada yang tercapai (pertumbuhan dan pajak), subsidi dicabuti, impor naik, utang melonjak,” kata Fadli melalui kicauannya menanggapi Best Minister in the World Award) di World Government Summit yang berlangsung di Dubai, Uni Arab Emirates yang diterima Sri Mulyani, Senin (12/2/2018).
Fadli pun menyebut terdapat setidaknya lima indikator yang menjadi sorotan yakni soal pertumbuhan ekonomi, pajak, subsidi, impor dan utang. Pertama soal target pertumbuhan ekonomi. Apalagi, sebelum pemilihan presiden, Jokowi telah mematok target pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen. Angka tersebut bisa dicapai, jika iklim investasi benar-benar kondusif dan waktu perizinan bisa dipangkas.
“Jadi target 7 persen tidak sulit,” kata Jokowi dalam debat capres di Hotel Grand Melia, Minggu, (15/6/2014).
Namun setelah menjabat, kata Politikus Gerindra itu, Pemerintahan Jokowi malah kesulitan untuk merealisasikan janjinya ini. Kemenkeu yang dipimpin Sri Mulyani pun telah melakukan berbagai inovasi kebijakan untuk menggenjot angka pertumbuhan. Namun, angka pertumbuhan masih berkutat di bawah 5,1 persen, dan bahkan Sri Mulyani tetap “ngotot “untuk 2018, asumsi pertumbuhan ekonomi 5,4 hingga 6,1 persen.”
Kedua soal pajak, Fadli benar bahwa Kemenkeu tidak berhasil mencapai target penerimaan pajak. Sepanjang 2017, penerimaan pajak hanya mencapai Rp 1.339,8 triliun atau hanya 91 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2017.
“Tapi ini menunjukkan peningkatan yang lebih baik dibanding tahun sebelumnya (83,5 persen di APBN-P 2016),” klaim Sri Mulyani mengomentari pencapaian tersebut.
Ketiga soal pencabutan subsidi. Fadli tidak merinci subsidi di sektor apa yang dicabut oleh Kementerian Keuangan. Namun salah satu pencabutan dilakukan pada subsidi tarif listrik golongan 900 volt ampere (VA), per 1 Mei 2017. Pencabutan subsidi diklaim untuk menciptakan keadilan. Sebab subsidi listrik selama ini justru dinikmati masyarakat mampu.
Keempat soal impor yang terus naik seperti data BPS sepanjang 2017 mencatat impor tumbuh 15,66 persen. Namun, BPS mencatat nilai ekspor justru tumbuh lebih tinggi yaitu 16,22 persen. “Sehingga neraca perdagangan Indonesia masih surplus US$ 11,84 miliar,” kata Kepala BPS, Suhariyanto, awal Januari 2018 lalu.
Kedua soal utang. 16 Januari 2018 lalu, Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri Indonesia pada akhir November 2017 mencapai US$ 347,3 miliar. Jumlah utang terhitung naik sebesar 9,1 persen secara tahunan (year on year). Sri Mulyani sempat mengakui rasio utang Indonesia saat ini terhitung tinggi. “Tapi tidak tinggi-tinggi amat dibandingkan dengan negara lain,” klaimnya ketika itu. (Wisnu-Fadlan)