Jakarta, Aktual.com – Mantan Menko Maritim Rizal Ramli (RR) mengingatkan pemerintah terkait utang yang sudah “sudah lampu kuning, Gali Lubang Tutup Jurang”. Pasalnya, primary balance negatif, debt service ratio sudah 39%, tax ratio hanya 10%an karena pengelolaan fiskal tidak prudent (ugal-ugalan) current account dll negatif
Rizal menuturkan ketika Sri Mulyani (SMI) menjadi Menkeu era Presiden SBY (2006-2010) ternyata menerbitkan surat utang USD43 miliar dengan bunga terlalu tinggi, mencapai 2 Persen. Akibatnya, kerugian negara mencapai sekitar Rp130 Trilliun.
Menanggapi hal tersebut, Kementerian Keuangan mengungkapkan semua lembaga pemeringkat (Moodys, Fitch, S&P, JCRA dan Rating & Investment) menyatakan bahwa Indonesia adalah investment grade. Bila menggunakan standar perbandingan antar negara-negara di dunia, Indonesia memiliki rasio utang terhadap PDB dan defisit APBN yang relatif kecil dan hati-hati.
“Alergi dan protes jika Indonesia dalam situasi baik oleh lembaga-lembaga internasional ibarat pepatah “buruk muka cermin dibelah”,” ujar Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti di Jakarta, Minggu (8/4).
Terkait gali lubang tutup jurang, menurutnya pemerintah justru terus melakukan penurunan defisit APBN dan primary balance. Sejak tahun 2012, pemerintah sudah mengalami defisit keseimbangan primer. Angka defisit 5 tahun terakhir, tahun 2013 Rp -98,6 triliun, 2014 Rp -93,3 triliun , tahun 2015 Rp -142,5 triliun, 2016 Rp -125,6 triliun tahun 2017 Rp. -121,5 Triliun.
“Sejak pertengahan 2016, Menteri Keuangan Sri Mulyani mulai mengendalikan trend (arah) negatif tersebut secara hati-hari agar tidak mengganggu pemulihan ekonomi. Dalam beberapa tahun kedepan diproyeksikan defisit akan makin mengecil dan primary balance akan makin seimbang atau bahkan mencapai surplus,” jelasnya.
Mengenai Trade account, service account dan current account semuanya negatif. Berikut datanya selama lima tahun terakhir;
Trade balance: Tahun 2013 US$ -4.1 miliar, 2014 US$ -2.37 miliar , tahun 2015 US$ 7.59 miliar, tahun 2016 US$ 8,83 miliar, tahun 2017 US$ 11.83 miliar. Service account: Tahun 2013 US$ -12,1 miliar , 2014 US$ -10 miliar , tahun 2015 US$ -8,7 miliar, tahun 2016 US$ -7,1 miliar, tahun 2017 US$ -7,9 miliar.
Current account: Tahun 2013 US$ -29,1 miliar , 2014 US$ -27,5 miliar , tahun 2015 US$ -17,5 miliar, tahun 2016 US$ -16,9 miliar, tahun 2017 US$ -17,3 miliar.
“Pemerintah saat ini memusatkan perhatian untuk memulihkan ekspor dan Invetasi melalui berbagai kebijakan baik insentif fiskal, penyederhanaan perijinan dan kemudahan dan perbaikan pelayanan ekspor dan impor. Pelemahan rupiah terhadap US dollar lebih banyak disebabkan oleh faktor eksternal. Pelemahan nilai mata uang hampir terjadi di semua negara Asia karena disebabkan adanya rencana kenaikan suku bunga The Fed oleh Gubernur Bank Sentral AS yang baru serta rencana proteksi perdagangan oleh Presiden Trump. Goncangan ini berpengaruh di banyak negara, namun karena stabilitas moneter dan fundamental makro negara kita yang sangat kuat, goncangan nilai tukar tidak terlalu besar,” jelasnya.
Selanjutnya mengenai Debt to Service Ratio (DSR) yang merupakan rasio pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri terhadap penerimaan hasil ekspor suatu negara. Berikut datanya lima tahun terakhir.
Debt Service Ratio tahun 2013 19.0%, tahun 2014 sebesar 23,9% , tahun 2015 sebesar 25,3% tahun 2016 32,5% dan tahun 2017 sebesar 34,2 %. Peningkatan DSR bukan karena biaya bunga yang tinggi , tapi lebih kepada cicilan pokok utang jatuh tempo yang agak besar pada tahun 2018. Pemerintah berupaya menurunkan beban bunga utang dengan mengembangkan instrumen utang jangka pendek dalam negeri – untuk mengurangi resiko potensi meningkatnya suku bunga global karena normalisasi oleh The Fed.
Mengenai Tax Ratio, Berikut datanya: tahun 2013 : 11,3 % , tahun 2014 : 10,9% , tahun 2015 sebesar 10,7% , tahun 2016 sejumlah 10,4 persen dan tahun 2017: 10 persen. Tax Ratio adalah perbandingan jumlah penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto. Memang agak kecil bila dibandingkan negara lain, namun tax ratio kita belum memperhitungkan pajak daerah serta jaminan sosial seperti di negara lain.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan justru karena penurunan tax ratio tersebut, maka pemerintah meluncurkan reformasi perpajakan setelah selesainya Tax Amnesty untuk meningkatkan tax ratio. Inipun dilakukan secara hati- hati, disertai perbaikan pelayanan oleh Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai agar tidak memperlemah pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah juga terus berusaha untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak agar penerimaan perpajakan meningkat. Usaha itu antara lain dengan menerapkan aturan Automatic Exchange of Information (AEOI), peningkatan kerja sama internasional di bidang perpajakan serta pertukaran data dengan berbagai kementerian/lembaga negara.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka