Saudaraku, hidup itu ibarat seni menggambar tanpa penghapus.

Setiap gambar merekam jejak penziarahan manusia menuju pelabuhan sakral. Namun, perjalanan menuju dermaga harapan itu hanya berbekal peta buta.

Dengan peta buta, hidup ini dijalani ke depan, namun dipahami ke belakang. Setiap penghujung tahun, kita tengok gambar hidup kita. Yang tampak dalam hasil akhir lukisan itu tak selalu sesuai dengan bayangan saat keberangkatan. Di sepanjang terang sapuan dasar, ada banyak goresan warna gelap. Di atas sukses ada gagal; di atas suka, ada duka; di atas rindu, ada benci; di atas harap ada cemas; di atas yakin ada ragu; di atas optimis, ada pesimis; di atas puas, ada kecewa.

Acapkali muncul sesal, andai aku tak begitu, mungkin gambar hidupku lebih indah. Namun, hidup yang dipahami ke belakang itu tak bisa menghapus sapuan warna yang terlanjur tergores pada kanvas kehidupan.

Kita cuma bisa belajar dari masa lalu, berharap tak mengulangi kesalahan yang sama pada lukisan mendatang. Betapapun, kita masih akan terus menggoreskan percik hitam di atas kanvas. Itu tak harus membuat kita terlalu kecewa. Karena gambaran perjalanan hidup kita menuju pelabuhan sakral akan lebih indah bermakna bila dilalui dengan penuh debar, karena keberanian menempuh coba-salah dalam memilih menuangkan aneka warna.

Maka, berdamailah dengan masa lalu, rebutlah hari ini, dan berdoalah semoga di penghujung tahun depan gambar hidup kita lebih indah.

 

Belajar Merunduk, Yudi Latif

Artikel ini ditulis oleh:

As'ad Syamsul Abidin