Jakarta, Aktual.com — PT Pertamina (Persero) yang bekerja sama dalam proyek penampungan terminal Gas Alam Cair (LNG) di Bojonegara, perbatasan Banten-Jawa Barat dengan PT Bumi Sarana Migas (BSM) dianggap menyalahgunakan kekuasaan oleh direksi Pertamina.

Pasalnya, proses kerja sama ini dilakukan tanpa tender hanya mengandalkan feasibility study BSM saja. Padahal hakikatnya, setiap proyek BUMN atau pemerintah sesuai aturan harus melalui proses tender.

“Intinya, setiap proyek BUMN syarat utamanya itu harus ada proses tender. Itu pakemnya. Kalau hal itu dilanggar berarti ada sesuatu di balik itu,” tandas Koordinator BUMN Watch, Helvi Moraza kepada Aktual.com, Selasa (24/5).

Menurut Helvi, dalam proyek itu tidak ada urgensi dari pemerintah, sehingga harus dilakukan penunjukkan langsung atau tanpa tender. “Ini saya anggap hanya permainan pihak Pertamina. Sehingga seolah-olah ada perlakuan khusus,” tegasnya.

Jika begitu, kata dia, dalam konteks itu sangat kentara unsur penyimpangan kekuasaan dan kewenangan dari direksi Pertamina-nya.

“Kalau itu penyalahgunaan kekuasaan, maka otomatis ujung-ujungnya pasti ada unsur korupsinya,” tandas Helvi.

Bahkan, jika Pertamina mau bisa saja hanya melibatkan PT Pertagas, sebagai anak usaha Pertamina, bukan pihak swasta.

“Atau jangan-jangan ada deal tertentu. Sebab masih ada BUMN lain yang bisa ambil alih ini (proyek LNG Bojonegara),” ujar dia.

Mestinya pemerintah, menurut dia, harus bisa membesarkan BUMN dengan political will-nya. Bukan selalu menyerahkan ke pihak swasta, sementara BUMN sendiri bisa melakukannya.

“Dan kalau swasta terlibat, ya ikutilah aturan di BUMN, harus melalui tender. Jangan malah babat habis kue BUMN,” cetus Helvi.

Perlu diketahui, proyek terminal LNG ini dikerjakan oleh Konsorsium BSM yang terdiri dari BSM, Tokyo Gas, Mitsui, dan Pertamina. BSM sendiri adalah perusahaan yang mayoritas sahamnya dikuasai PT Bumi Sarana Utama (BSU/Kalla Group).

BSU berdiri sejak 1990 dan merupakan dealer aspal curah Pertamina untuk daerah pemasaran Sulawesi dan Kalimantan. Nantinya, operator terminal LNG Banten-Jawa Barat adalah PT Nusantara Gas Service. Komisaris Utama perusahaan operator itu (NGS) adalah Solichin Kalla.

BSM sendiri adalah perusahaan yang berada dalam naungan Kalla Group, yang saat ini dipimpin oleh Fatimah Kalla (adik Jusuf Kalla). Fatimah menjabat sebagai Direktur Utama BSM, sementara anak JK, yakni Solichin Kalla menjabat sebagai Direktur. Selain itu, Solichin saat ini juga menjabat sebagai Komisaris di PT Bukaka Teknik Utama Tbk (BUKK).

Penandatanganan kerjasama dengan Pertamina untuk proyek senilai US$500 juta (sekitar Rp6,6 triliun) itu dilakukan oleh Solichin dan Direktur Energi Baru dan Terbarukan Pertamina, Yenni Andayani disaksikan oleh Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto, pada awal April 2016 lalu.

Kerja sama ini memang agak janggal. Selain dilakukan tidak melalui proses tender, dalam arti Pertamina hanya mengikuti proposal yang diajukan BSM ini, pihak Pertamina juga banyak menanggung beban lain.

Seperti kewajiban membangun jaringan pipa gas sepanjang 150 kilometer dari Bojonegara ke konsumen itu ternyata harus ditanggung Pertamina. Juga ketika ada keterlambatan pasokan gas LNG kepada konsumen, lagi-lagi menjadi tanggungan Pertamina.

Belum lagi bicara komposisi kepemilikan saham dalam konsorsium tersebut, di mana Pertamina hanya menguasai 15% saham saja.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan