Oleh: Rinto Setiyawan , A.Md., S.H., CTP (Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute)
Jakarta, aktual.com – Di atas kertas, Indonesia adalah republik. Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan seluruh kekuasaan negara dijalankan atas nama rakyat. Namun dalam praktik, masih ada istilah yang mencerminkan cara berpikir pemerintah sebagai pemilik, bukan pemerintah sebagai pelayan rakyat. Istilah itu adalah BUMN — Badan Usaha Milik Negara.
Sekilas terlihat wajar, tetapi secara filosofis dan konstitusional, ini keliru. Negara bukan entitas pemilik. Negara adalah wadah, sedangkan pemilik kekuasaan dan kekayaan hanyalah satu: rakyat. Pemerintah hanyalah penyelenggara sementara atas mandat rakyat.
Karena itu, jika Indonesia ingin konsisten sebagai republik, sudah saatnya istilah BUMN diganti menjadi BUMR — Badan Usaha Milik Rakyat.
Aset Negara Bukan Milik Pemerintah
Pemerintah tidak memiliki modal sendiri. Seluruh kekayaan yang dikelola perusahaan publik berasal dari:
– pajak rakyat,
– sumber daya alam milik rakyat,
– APBN yang diisi oleh kerja rakyat,
– dan laba yang seharusnya kembali kepada rakyat.
Jika semua berasal dari rakyat, mengapa disebut “milik negara”?
Pertanyaan ini penting karena bahasa menentukan cara berpikir. Ketika pemerintah diposisikan sebagai “pemilik”, maka perusahaan publik pun dianggap sebagai properti birokrasi, bukan amanat rakyat.
Inilah yang menyebabkan BUMN rentan dijadikan alat politik, instrumen kekuasaan, bahkan kendaraan oligarki.
BUMR Mengembalikan Kepemilikan kepada Pemilik Asli
Mengubah istilah BUMN menjadi BUMR bukan sekadar pergantian huruf. Ini adalah koreksi paradigma:
dari pemerintah sebagai pemilik → menjadi pemerintah sebagai pengelola.
BUMR menegaskan bahwa:
• perusahaan publik adalah milik rakyat,
• pemerintah sekadar operator,
• keuntungan wajib kembali kepada masyarakat,
• direksi dan komisaris tidak boleh menjadi jabatan politik,
• dan seluruh aset publik harus diawasi sebagai kekayaan milik pemilik tunggal: rakyat.
Lebih dari itu, BUMR memaksa negara membangun tata kelola perusahaan publik sesuai standar internasional yang mengutamakan akuntabilitas, yaitu:
• OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development),
• COSO (Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission),
• INTOSAI (International Organisation of Supreme Audit Institutions).
Standar ini menegaskan keharusan pemisahan fungsi, transparansi, dan pengawasan yang ketat — prinsip yang mustahil tegak jika pemerintah masih memposisikan diri sebagai “pemilik” usaha publik.
Bahasa Baru, Cara Berpikir Baru
Dalam negara republik, perubahan besar sering dimulai dari bahasa yang benar. Istilah BUMN berasal dari cara berpikir lama, seolah pemerintah adalah raja baru yang memiliki perusahaan negara. Ini kontradiktif dengan prinsip bahwa pemerintah hanyalah pelayan publik.
Sebaliknya, istilah BUMR menempatkan rakyat di posisi yang benar: pemilik rumah besar bernama Indonesia.
Pemerintah—dari presiden hingga direksi BUMR—adalah pengurus, bukan pemilik.
Dengan BUMR, relasi kuasa menjadi jujur dan sesuai konstitusi:
– rakyat adalah pemilik,
– pemerintah adalah pengelola,
– dan perusahaan publik adalah alat kesejahteraan rakyat.
Penutup
Indonesia sering menyebut dirinya “Republik Indonesia”, tetapi praktiknya masih bercampur dengan cara pikir feodal: pemerintah diperlakukan sebagai pemilik negara. Perubahan istilah BUMN menjadi BUMR adalah langkah sederhana namun fundamental untuk mengoreksi arah ini.
Selama aset publik masih disebut “milik negara”, kita belum sungguh-sungguh menjadi republik.
Ketika kita berani menyebutnya “milik rakyat”, barulah negara ini berpijak pada prinsip yang seharusnya:
– dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Saatnya Indonesia jujur pada dirinya sendiri:
Ganti nama BUMN menjadi BUMR — karena bangsa ini milik rakyat, bukan milik pemerintah.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain















