Jakarta, Aktual.com — Menteri Perdagangan, Thomas Lembong mulai terbuka pemikirannya dalam menata persoalan perdagangan dan komodiitas pangan. Ide-ide revolusioner dari kementerian lain terkait pembenahan tata kelola distribusi pangan dari impor mulai diterima.
Thomas sepakat, jika impor tetap dilakukan dalam mekanisme kuota memang akan menyebabkan harga pangan di lapangan lebih spekulatif, karena banyak tangan-tangan spekulan ikut bermain mengatur harga. Sehingga dampaknya rakyat yang akan dirugikan. Hal ini yang membuat selama ini pemerintah kesulitan mengendalikan harga. Maka, ide pengenaan tarif sangat masuk akal.
“Dengan mekanisme tarif, pasar akan menjadi lebih bebas dan terbuka. Tak hanya itu, persaingan juga bakal lebih ketat, karena pasokan menjadi lebih banyak, sehingga harga pun bisa didorong turun,” tukas Lembong ketika berdiskusi dengan media, di Jakarta, ditulis Rabu (3/2).
Sebelumnya, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya, Rizal Ramli mengusulkan ke Kementerian Perdagangan agar sistem kuota untuk impor pangan diganti saja dengan sistem tarif. Sebab, melalui mekanisme kuota akan menyuburkan kartel dan mafia pangan. Sehingga mereka-mereka itu yang memainkan harga.
“Itu pemikiran yang revolusioner,” puji Lembong terhadap ide Rizal Ramli tersebut.
Akan tetapi, kata Lembong, jika kementeriannya mengadopsi ide Rizal itu, maka ada perubahan yang mendasar. Sebab, perizinan di sektor pangan akan dirombak total.
“Makanya, saya sangat setuju dengan ide Pak Rizal. Memang banyak sekali masalah yang timbul dari sistem kuota, baik kuota resmi maupun tidak resmi,” tandas dia.
Ia merinci masalah yang ditimbulkan dari adanya sistem kuota tersebut. Kata dia, kondisi yang paling gamblang adalah, mekanisme pasar tidak berjalan dengan baik akibat adanya kuota. Sehingga harga pangan pun menjadi tinggi dan kurang stabil.
Untuk itu ia berjanji, bakal secepatnya mengubah tata niaga impor di sejumlah komoditas pangan. Dalam arti mengikuti usulan Rizal, mengganti sistem kuota dengan sistem tarif.
“Sehingga yang akan terjadi di lapangan, siapa pun dapat mengimpor pangan asalkan membayar tarif impor,” jelas dia.
Kebijakan inilah yang akan menjadi prioritas. Dan diharapkan akan menjadi solusi dalam mengatasi masalah harga pangan di Tanah Air.
“Semakin pasar dibatasi, semakin pasar itu tipis, tidak ada mekanisme supply-demand yang baik. Tapi semakin suatu pasar dibuka dan semakin ada kebebasan, makaa akan semakin lancar pula pasokannya dan harga stabil,” bener Lembong.
Cuma ia mengingatkan, dengan kebebasan tersebut, bukan berarti semua pihak sembarangan dalam mendatangkan komoditas pangan impor, tapi tidak memperhatikan hal-hal lainnya. Seperti kesehatan dan dampak lingkungan.
“Jadi, selama memenuhi persyaratan higienis, lingkungan hidup, mestinya semua orang boleh berdagang pangan melalui ekspor impor,” tandas dia.
Sebelumnya, Rizal Ramli mengkritik sistem kuota dalam impor pangan. Di mata dia, sistem kuota inilah yang membuat harga pangan masih juga mahal meski impor sudah membludak.
“Niatnya baik, kita atur impornya pakai peraturan, pakai kuota atau semi kuota, dengan harapan melindungi produsen dalam negeri. Tapi dalam praktiknya tidak begitu,” kata Rizal.
Ia menyebut data-data dari Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) yang mencatat, di hampir semua komoditas pangan, pelaku yang sesungguhnya itu hanya enam atau tujuh saja.
Lebih lanjut ia membebenrkan, kondisi ketidakwajaran harga tersebut paling gamblang ada pada impor daging sapi. Kendati faktanya, yang mengantongi izin impor sapi banyak, justru tak menunjukan ada persaingan yang sehat dalam penetapan harga.
Masih berdasar data KPPU, selama ini banyak mportir semu atau ecek-eceknya. Mungkin saja di komoditas daging ini ada sekitar 40 importir daging, tapi yang bermain hanya 6-7 importir. Sehingga publik dan mungkin pemerintah tertipu, seolah-olah kompetitif, padahal kenyataannya tidak.
“Cuma sayang, KPPU nggak mau sebut namanya,” tutup Rizal.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka