Jakarta, Aktual.com — Sakimin (70), petani buta huruf yang tak tahu merah, kuning dan hijau asal kabupaten Grobogan diganjar vonis empat tahun penjara, dalam kasus penyelewengan dana bantuan stimulun Perumahan Swadya (BSPS) di desa Teguhan TA 2014 di Pengadilan Tipikor Semarang, Selasa (15/2).

Putusan hakim pun, lebih rendah satu tahun dibandingkan adik dari lurah desa Teguhan, Andi Poedjo Soebroto yang dijatuhi vonis 5 tahun penjara dan denda Rp200 juta dan subsidair 42 bulan kurungan.
Putusan yang dijatuhkan Sakimin, lebih ringan dari tuntutannya 5 tahun penjara, dan denda Rp50 juta subsidair 4 bulan kurungan.

Ketua majelis hakim Suprapti menyatakan, para terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan dalam dakwaan primer pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999, sebagaimana diubah UU No. 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 KUHP, tentang Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

“Terdakwa telah secara bersama-sama orang lain yang menimbulkan kerugan keuangan negara. Keduanya justru tidak mendukung pemerintah dalam pemberantasan korupsi,” ujar Suprapti saat membacakan amar putusan.

Dalam pertimbangannya, majelis menyebutkan hal-hal yang memberatkan, para terakdwa tidak berterus terang selama penyidikan dan proses persidangan bahwa sebetulnya menikmati hasil kejahatanya.

Akibat perbuatan para terdakwa, bahwa negara menderita kerugian Rp500 juta.

Sedangkan, hal-hal meringankan terdakwa belum pernah dihukum. Keduanya bersikap sopan dipersidangan.

“Untuk terdakwa Sakimin selalu berterus terang selama proses penyidikan hingga persidangan dan tidak menikmati uang hasil kejahatanya, dan walaupun Sakimin butuh huruf akan tetapi bisa menghitung,” kata dia.

Menanggapi putusan tersebut, antara penuntut dan kuasa hukum masih berfikir-fikir menyatakan banding. “Kami konsultasi dulu dengan atasan kami,” kata penuntut Kejari Grobogan, Suryo.

Sementara, majelis hakim memberikan kesempatan atas sikap keduanya selama 7 hari, sehingga dalam putusan ini belum mempunyai kekuatan hukum tetap.

Usai putusan, mata Sakimin berlinang air mata sembari menyatakan bahwa sebagai korban. Dirinya mengaku tidak menikmati suang sepeser pun. Bahkan, dalam proyek bantuan itu justru rugi materiel maupun immateriel.

“Kalau tidak percaya silahkan cek boleh polisi, KPK dan lainnya. Saya berani sumpah pocong dipersidangan ini. Demi anak cucu, saya tidak ada seperserpun menikmati uang itu,” kata Sakimin terus menangis.

Menanggpi putusan kliennya, Nugroho Budiantoro menilai putusan hakim tidak tepat, karena merupakan petani buta huruf dan menjadi korban dari terdakwa Andi Poedjo Soebroto.

Dalam kasus itu, bermula tahun 2013 pemerintah desa Teguhan mengajukan bantuan 275 unit rumah warga ke program BSPS Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera). Program tersebut, bertujuan untuk memperbaiki rumah tidak layak huni bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dengan dana bantuan sebesar Rp7,5 juta per unit.

Kemenpera mengecek data lapangan yang berjumlah 264 unit rumah yang layak membutuhkan bantuan dengan pagu Rp1,98 miliar. Dalam pelaksanaannya pencairan dana dibagi menjadi dua termin. Masing-masing Rp 3.750.000/ unit rumah berupa bahan bangunan.

Para penerima bantuan menunjuk terdakwa Andi Poedjo sebagai supplier bahan bangunan. Hingga kemudian tim Kemenpera mengecek lagi dan terdapat selisih dalam pembagian dana di lapangan sebanyak Rp. 500.520.000.

Total dana lapangan adalah Rp.1.499.479.394. Sedangkan Sakimin hanya dipinjam nama tokonya oleh Andi, Sukimin juga tercatat memiliki toko kayu kecil-kecilan bernama Jati Semi.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby