Jakarta, Aktual.com — Data-data ketersediaan beras nasional kerap dimanipulasi oleh pemerintah, sehingga berakibat fatal pada kebijakan perberasan yang salah kaprah.
Pasalnya, selama ini pemerintah kerap mengklaim terjadi surplus beras, tapi faktanya malah terjadi lonjakan harga beras yang tinggi.
“Selama ini beras belum pernah dianggap sebagai komoditas strategis, tidak seperti minyak yang sangat diatur. Sehingga terjadi ketimpangan dalam hal kebijakan perberasan,” cetus Sekjen Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Sadar Subagyo, saat diskusi Salah Urus Beras di Jakarta, Sabtu (23/4).
Menurut Sadar, selama ini pemerintah hanya mengurusi proses benih sampai menjadi gabah, sehingga ada insentif kredit dan subsidi lainnya. Tapi ketika proses gabah ke beras, seharusnya negara hadir juga karena dapat mendongkrak kesejahteraan petani.
Kebijakan yang salah ini karena memang data yang dikantongi pemerintah itu sudah salah dari awal.
Dia menegaskan, beberapa tahun lalu pemerintah pernah merilis konsumsi beras sebanyak 139 kilogram per kapita per tahun, tapi kemudian setelah dikritisi dan diselenggarakan survei ekonomi nasional diubah hanya 87 kg per kapita.
“Angka itu sama dengan negara lain seperti Thailand atau Vietnam. Namun kemudian datanya berubah lagi menjadi 114 kg per kapita. Lucunya, beras-beras yang ada hotel, yang dijual di rumah makan dan yang dijual nasi goreng juga ikut disurvei,” tegas dia.
Manipulasi data pemerintah tidak sampai disitu. Bahkan, belakangan muncul data yang menyebutkan tingkat konsumsinya sebesar 124 kg per kapita.
“Angka ini kembali digelembungkan karena data produksi tinggi, sehingga data konsumsinya pun harus ditingkatkan agar terlihat imbang,” cetus dia.
Menurutnya, itu adalah kesalahan pemerintah. “Karena kalau tidak ada perubahan kebijakan maka akan terus memiskinkan petani. Sehingga tidak akan bergerak nilai petani itu,” cetus dia.
Artikel ini ditulis oleh: