Pedagang melayani pembeli ayam di Pasar Rumput, Jakarta Selatan, Selasa (9/8). Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memanggil 12 perusahaan yang diduga melakukan praktik kartel dengan mengatur stok daging ayam. Dua belas perusahaan tersebut diduga bersekongkol memusnahkan enam juta ekor bibit ayam. Praktik ini diduga sebagai penyebab naiknya harga daging ayam beberapa waktu lalu. AKTUAL/TINO OKTAVIANO

Jakarta, Aktual.com – Maraknya praktik kartel ayam 12 perusahaan unggas yang harus melewati proses persidangan di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ternyata tak lepas dari peran Kebijakan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian.

Aturan ini tentu sangat keliru mengingat dengan masih maraknya praktik kartel ayam ini justru membuat nasib para peternak ayak atau unggas menjadi semakin dirugikan.

“Jadi munculnya isu kartel ayam ini justru dipicu oleh sikap pemerintah yang menginstruksikan kepada 12 perusahaan pembibitan unggas untuk mengafkir enam juta ekor indukan ayam (parent stock). Ini kebijakan yang keliru,” papar mantan Ketua KPPU Sutrisno Iwantono dalam diskusi Bincang-Bincang Agribisnis bertajuk “Perspektif Hukum Kartelisasi Afkir Dini” di Jakarta, Rabu (28/9).

Sebagaimana diketahui, KPPU sudah menggelar persidangan terhadap 12 perusahaan besar pembibitan unggas, di antaranya ada nama PT Charoen Pokphand Tbk (CPIN), PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) dan PT Malindo Feedmil Indonesia Tbk (MAIN).

Pada dasarnya, Iwantono menegaskan, kebijakan Kementan tersebut untuk memperbaiki harga ayam hidup di tingkat peternak yang berada di bawah harga pokok produksi (HPP) akibat kelebihan pasokan DOC. Tapi kenyataannya malah merugikan para peternak.

“Karena adanya over-supply DOC (anak ayam usia sehari), maka dilakukan pengafkiran dini oleh Kementan. Kalau 12 perusahaan itu tidak mau mengafkir, justru ada ancaman dari Ditjen Peternakan Kementan itu,” tuturnya.

Iwantono mengungkapkan, banyak kalangan memandang bahwa langkah Kementan untuk mengafkir dini induk ayam merupakan aturan yang keliru. “Tentu pemerintah tidak mau disalahkan, sehingga pada akhirnya 12 perusahaan itu yang dianggap melakukan kartel ayam,” jelasnya.

Menurutnya, kebijakan afkir dini Tahap I (Oktober-November 2015) dilakukan terhadap dua juta ekor induk ayam. Namun, ketika afkir dini Tahap II (Desember 2015) sedang berlangsungn, KPPU meminta dihentikan dan memperkarakannya dengan tuduhan pelanggaran kartel sesuai UU Nomor 5 Tahun 1999.

Dia mengungkapkan, kesepakatan untuk melakukan afkir dini oleh 12 perusahaan pembibitan unggas itu tidak termasuk kesepakatan kartel.

“Itu sebatas pada sikap kepatuhan perusahaan-perusahaann itu terhadap kebijakan pemerintah dan bukan kesepakatan yang menyebabkan persaingan usaha tidak sehat,” tuturnya.

Iwantono menjelaskan, kesepakatan kartel harus dilandasi kehendak bebas (free will) dari masing-masing pihak untuk melakukan perjanjian. Sementara dalam afkir dini, menurut dia, tidak ada free will, namun keterpaksaan pihak swasta untuk menjalankan kebijakan pemerintah.

“Kalau dilihat dalam perkara afkir dini, ada instruksi dari Dirjen Peternakan yang memuat sanksi jika tidak dilaksanakan. Jelas di sini kesepakatannya bukan atas dasar free will, tetapi paksaan,” cetus Iwantono.

Terkait UU Nomor 5/1999, menurut Iwantono, KPPU memiliki dua kewenangan, yakni terkait proses hukum dalam menjatuhkan hukuman kepada pelaku usaha yang terbukti melakukan persaingan usaha tidak sehat.

“Kedua, memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam sebuah kebijakan,” ungkapnya.

Di tempat yang sama, Ketua Komite Pemantau dan Pengawas Pertanian Indonesia, Susno Duadji mengatakan bahwa kasus ini menunjukan ketidakberesan politik pertanian.

“Impornya terlalu banyak karena data yang tidak akurat. Pengawasan yang tidak beres, karena ada 12 perusahaan yang menguasai 80 persen industri unggas,” kata Susno.

Menurut mantan Kepala Bareskrim Mabes Polri ini, kelebihan impor tersebut disebabkan oleh ketidakakuratan data statistik yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), Kementan dan Kementerian Perdagangan.

“Sehingga, data yang tidak beres ini menyebabkan salah ambil kebijakan,” ucap Susno.

Sejauh ini, kata dia, ada tiga madalah penting, pertama, politik pertanian Indonesia tidak beres. Kedua, impornya terlalu banyak karena data yang tidak akurat.

“Dan ketiga, pengawasan yang tidak beres di mana ada 12 perusahaan besar yang menguasai 80 persen industri unggas,” pungkas Susno.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka