Jakarta, Aktual.com – Adanya wacana pemerintah untuk menurunkan harga gas menjadi USD 6 pada januari 2017 mendatang, merupakan langkah positif bagi industri hilir.

Namun, Anggota Komisi VII DPR Satya Widya Yudha mengingatkan pemerintah agar bertindak rasional dengan menyelaraskan perkembangan industri hulu migas.

Menurutnya, investasi masing-masing lapangan menemukan tantangan yang berbeda, sehingga nilai keekonomian suatu proyek harus diukur dari tingkat kesulitan lapangan. Oleh karenanya, kebijakan dengan mematok harga tertentu menjadi rancu dan dikhawatirkan membunuh sektor industri upstream.

“Harga kalau ada patokan itu agak bingung, karena harga gas tidak jauh dari bagaimana menghitung keekonomian. Kalau offshore agak sulit itu harga keekonomiannya lebih mahal dibanding onshore yang lebih murah, Itu yang harusnya dipikirkan,” tuturnya, Minggu (9/10).

Untuk itu, selain mengharapkan adanya pergerakan industri hilir dari penurunan harga gas, dia meminta pemerintah mengkombinasikan pemahaman dari produksi industri upstream yang tidak boleh dirugikan dengan penurunan harga gas.

“Kalau pemerintah mematok USD 6, itu musti ditarik PSC profit splitnya berapa. Itu musti diotak atik karena tidak bisa dengan profit split yang kaku, yang sudah ditentukan di awal. Pada waktu itung keekonomian masuk juga soal harga minyak dunia. kontraktor itu kan tidak akan berinvestasi begitu melihat output harganya tidak mencerminkan keekonomian lapangan,” tambah politikus Golkar itu.

Dalam realisasi penurunan harga gas tersebut, dia mendesak agar pemerintah meninjau perjanjian dengan KKKS yang berkemungkinan tidak ekonomis agar memberi solusi supaya aktifitas industri upstream indonesia tetap berjalan.

 

*Dadang

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta