Jakarta, Aktual.com – Insomnia merupakan suatu gangguan tidur yang membuat seseorang sulit untuk tidur, mempertahankan tidur dalam jangka waktu yang lama, atau jika seseorang terbangun akan sulit tidur kembali.
Dokter spesialis kejiwaan dr. Lusiana Winata, SpKJ mengatakan gangguan tidur dapat menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis hingga gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, pendidikan, akademik, perilaku, atau fungsi penting lainnya.
Insomnia ditandai dengan kesulitan tidur yang sudah terjadi setidaknya 3 malam per minggu yang berlangsung selama 3 bulan atau lebih, dan kesulitan tidur terjadi meskipun ada kesempatan yang cukup untuk tidur.
Langkah pertama pengobatan insomnia adalah identifikasi penyebab atau sumber gangguan tidur tersebut. Biasanya psikiater melakukan asesmen dan wawancara kepada pasien sebelum menentukan tindakan selanjutnya.
“Kalau pasien datang dengan keluhan susah tidur, kami asesmen dulu, kami wawancara dulu. Ini masuknya insomnia mana, primer atau sekunder,” kata Lusiana dalam sesi diskusi virtual, Rabu.
Lusiana menyebutkan dua jenis insomnia, yakni sekunder dan primer. Pada insomnia sekunder berarti berkaitan dengan masalah kesehatan atau gangguan mental, seperti cemas dan depresi.
“Insomnia sekunder itu pertama kami cek dulu fisiknya, ada masalah atau tidak, apakah dia punya masalah fisik yang membuat pasien susah tidur. Kalau misalnya tidak ada, berarti cek lagi, ada suatu life event-kah atau ada masalah apa,” ujar Lusiana.
Jika sumber gangguan tidur sekunder telah bisa diidentifikasi, maka langkah selanjutnya adalah menjalani sesi psikoterapi tanpa menggunakan obat-obatan, meski terkadang terapi obat-obatan dibutuhkan untuk kondisi tertentu.
Sementara pada insomnia primer berarti tidak berkaitan dengan masalah kesehatan atau gangguan mental lainnya. Namun, Lusiana mencatat bahwa kasus insomnia primer jarang sekali terjadi pada pasien yang ia tangani.
Pada pasien insomnia primer akut yang berdampak pada menurunnya kualitas aktivitas sehari-hari, kata Lusiana, biasanya psikiater mengambil tindakan farmakologi terlebih dahulu atau membantu pasien untuk tidur dengan meminum obat penenang-hipnotik.
“Pada pasien-pasien seperti itu, kadang yang dia butuhkan adalah tidur dulu. Kalau dia sudah tidur dan pikirannya sudah rileks, baru kami bisa masuk ke psikoterapi selanjutnya. Kami gali, ada apa sih sebenarnya, kenapa dia sampai tidak bisa tidur, dan seterusnya,” kata Lusiana.
Namun, Lusiana menegaskan bahwa penggunaan obat pada pasien harus dibatasi atau hanya menggunakannya jika benar-benar diperlukan agar mencegah efek negatif seperti adiksi. Dosisnya pun harus dipertahankan dalam kadar rendah dan tidak diperkenankan untuk mengonsumsi obat penenang setiap malam secara terus-menerus.
“Perlu diketahui, hati-hati dengan obat penenang. Untuk mengurangi adiksi obat penenang atau alprazolam itu mau tidak mau harus datang ke psikiater. Jadi psikiater yang bisa bantu untuk mengurangi dosisnya,” ujar Lusiana.
Biasanya, kata Lusiana, orang yang sudah adiksi dengan obat penenang memiliki pola pemikiran yang salah, yakni menganggap dirinya tidak bisa tidur apabila tidak meminum obat penenang.
“Dia ketakutannya bukan lagi ‘Saya tidak bisa tidur’. Nah, itu akan kami bantu untuk mengubah pemikirannya yang salah tentang obat itu,” tuturnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Dede Eka Nurdiansyah