Jakarta, Aktual.com – Pembahasan RAPBN 2016 dianggap sebagai gejala ‘perampokan’ anggaran rakyat untuk kepentingan dana politik.
Yakni untuk mengongkosi pertarungan politik jangka panjang di Pilkada 2017 maupun Pemilu tahun 2019.
Penilaian itu disampaikan Manager Advokasi Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Apung Widadi. Kata dia, ada dua upaya untuk menyedot dana politik dari APBN 2016.
Pertama, dari ngototnya anggota DPR untuk memperjuangkan dana aspirasi hingga Rp11, 2 triliun per tahun.
Lalu yang kedua, ada upaya memanfaatkan momentum menggolkan kembali dana bantuan keuangan untuk partai politik. “Hingga mencapai Rp10 triliun per tahun,” ujar Apung di Cikini, Jakarta, Minggu (28/6).
Kata dia, dana aspirasi tidak sesuai dengan arah pembangunan ekonomi antara pusat dan daerah. Sebab dana aspirasi justru dianggap bisa mengakibatkan ketimpangan antar daerah.
Belum lagi dari sisi regulasi. Dana Aspirasi dianggapnya bertentangan dengan sejumlah Undang-Undang.
“Bertentangan dengan UU Keuangan negara, UU perbendaharaan negara, UU perencanaan penganggaran, UU otonomi daerah dan UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah,” ucap dia.
Kemudian, untuk dana partai politik, kata Apung, FITRA menilai hal tersebut belum efektif. Seharusnya, ujar dia, APBN digunakan untuk membiayai belanja publik pendidikan, kesehatan, dan pangan sebagai prioritas.
Apalagi, lanjutnya defisit APBN P 2015 mencapai Rp. 220 triliun atau 1,9 persen. Bahkan APBN 2016 diduga mencapai defisit 2,2 persen yang akhirnya untuk menutupi akan diambil dari dana utang liar negeri senilai hampir Rp. 150 triliun.
“Jadi jelas dana bantuan keuangan parpol belum mendesak dan dibutuhkan,” ucap dia.
Terkait hal tersebut, Apung mengatakan FITRA menuntut DPR agar lebih terbuka matanya, lebih objektif dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Bukan kepentingan sendiri dan partai politik.
Artikel ini ditulis oleh: