Jakarta, Aktual.com —  Ketidakpastian ekonomi global diperkirakan masih berlanjut pada 2016 dengan sumber gejolak yang sama seperti 2015 dan dipicu pula ruang sempit negara-negara maju untuk mendorong percepatan pemulihan ekonomi global.

“Belum ada prospek membaik. Negara-negara maju sulit melakukan ‘countercylical’ di bidang fiskal dan moneter, karena sempitnya ruang fiskal dan beban utang mereka,” kata Staf Ahli Menteri Bidang Sinergi Ekonomi dan Pembiayaan Pembangunan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang Prijambodo di Jakarta, Jumat (11/9).

Negara-negara maju yang dimaksud Bambang, adalah negara atau wilayah yang menjadi kontributor terbesar produk domestik bruto global, yakni Amerika Serikat, Eropa, Jepang dan Tiongkok.

Bambang memperkirakan sumber-sumber gejolak pada 2016 masih berasal dari ketidakpastian kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat the Fed, imbas dari devaluasi yuan Tiongkok, dan penurunan harga komoditas.

Dengan beratnya kondisi ekonomi global tersebut, ujar Bambang, negara-negara maju akan sulit berkembang dengan melakukan ekspansi fiskal.

Penyebabnya, ruang fiskal yang sudah tidak memadai, diperparah dengan seretnya penerimaan negara karena perlambatan ekonomi global. Pun ditambah dengan beban utang yang berisiko memperlebar defisit anggaran.

Hal-hal tersebut, menurut Bambang, akan menyulitkan negara maju untuk melakukan langkah bersama (concerted measures) seperti saat menghadapi krisis ekonomi global 2008.

“AS masih sulit lakukan langkah luar biasa seperti saat 2008, perekonomian Jepang juga masih banyak tantangan, dan Tiongkok juga harus menjaga stabilitas,” ujarnya.

Dengan mempertimbangkan hal tersebut, Bambang melihat Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) akan mengubah proyeksinya. IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global sebesar 3,8 persen pada 2016.

“Sebenarnya dengan proyeksi 3,8 persen saja, itu tandanya pertumbuhan ekonomi global masih di bawah rata-rata,” ujarnya.

Bambang juga mengatakan, imbas negatif ketidakpastian ekonomi global tersebut harus direspon dengan kebijakan ekonomi domestik yang tepat.

Salah satu kebijakan itu adalah, langkah konkret yang memberikan dampak langsung dalam meningkatkan daya beli masyarakat.

“Perlu dana injeksi yang (berdampak) langsung. Terutama untuk memulihkan daya beli masyarakat,” ujar dia.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, dalam rapat dengan Badan Anggaran DPR, sebelumnya, menuturkan, negara-negara G-20 juga meyakini prospek ekonomi global belum membaik di 2015. Sedangkan untuk 2016, Bambang mengatakan keraguan negara-negara G-20 terhadap pemulihan ekonomi global juga tampak mencuat.

“‘Mood’ mereka berat untuk melihat pertumbuhan,” ujarnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka