Seperti mengklamufase toko dengan bekerja sama dengan masyarakat lokal, seakan-akan toko tersebut milik masyarakat tetapi ketika ditilik ke dalam barang-barang yang dijual adalah barang dengan brand franchise.
Hal tersebut disadari betul oleh Dinas Perizinan, masih banyak manipulasi yang ditemukan di lapangan seperti melakukan penyuapan kepada masyarakat agar mau menandatangani kerja sama dengan TMB. Hal-hal demikianlah yang membuat masih banyak ditemukannya TMB berkedok toko lokal.
Dinas Perizinan tidak dapat menindaklanjuti kasus seperti itu karena sudah mendapat dukungan dari masyarakat yang melakukan kerja sama tersebut.
Hal ini kemudian dalam jangka panjang akan memicu gap keadilan ekonomi. Temuan kami di lapangan yang mencengangkan adalah bagaimana proses izin pendiriannya tidak mewajibkan pengusaha melakukan kajian dampak sosial dengan masyarakat sekitar, sehingga tidak jarang terjadi gesekan dengan masyarakat yang kontra.
Jika dicermati, mutlak hukumnya apabila TMB mendirikan usaha baru harus melakukan kajian yang mendalam terhadap dampak-dampak yang merugikan masyarakat.
Celah berikutnya yang dilakukan pengusaha adalah ketika mendirikan perusahaan TMB baru mereka memanipulasi nama toko yang baru dengan tidak mengatasnamakan TMB sebelumnya, semisal mengkosongkan nama TMB atau merubah nama TMB menjadi nama lain.
Yang melatari kecurangan ini adalah karena dalam Perwal 79/2010 masih ditemukan makna multi tafsir dalam beberapa Pasal seperti Pasal 2 tentang ruang lingkup yang didalamnya mengatur seputar:
1. Usaha waralaba yang berbentuk minimarket dengan sistem pelayanan mandiri, menjual secara eceran berbagai jenis barang kebutuhan sehari-hari.
2. Anak cabang perusahaan yang menjual secara eceran berbagai jenis barang kebutuhan sehari-hari dengan menggunakan nama atau merk yang sama yang merupakan kerjasama langsung sebagai jejaring usaha dengan perusahaan besar berskala nasional.
Artikel ini ditulis oleh: