Sejumlah Anggota DPR RI menghadiri Rapat Paripurna DPR RI di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (2/10/2025). ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi.
Sejumlah Anggota DPR RI menghadiri Rapat Paripurna DPR RI di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (2/10/2025). ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi.

Jakarta, aktual.com — Setelah Komisi III DPR RI bersama Pemerintah mencapai kata sepakat terkait RUU KUHAP dan membawanya ke Rapat Paripurna DPR pada Selasa (18/11) untuk disahkan menjadi undang-undang, reaksi keras segera bermunculan di ruang publik.

Di media sosial, berbagai kelompok masyarakat menyuarakan penolakan dengan menyoroti potensi masalah dalam aturan baru tersebut. Tagar seperti #SemuaBisaKena dan #TolakRKUHAP ramai digunakan sebagai bentuk protes.

Penolakan terhadap RUU KUHAP yang sudah berada di tahap akhir sebelum disahkan ini sebenarnya bukan fenomena baru—gelombang keberatan telah terdengar sejak Februari 2025. Namun, situasi memanas setelah Komisi III menyatakan bahwa pengesahan akan segera dilakukan.

Sejumlah figur publik yang aktif mengikuti proses revisi KUHAP mendorong masyarakat untuk tidak bersikap pasif. Melalui unggahan berisi visual Peringatan Darurat berwarna hitam, mereka memaparkan alasan mengapa pengesahan RUU KUHAP dianggap berbahaya.

“Penjebakan, pemerasan, dan upaya paksa tanpa kontrol—itulah risiko besar jika RKUHAP disahkan. Padahal, ini rancangan yang dibutuhkan untuk melindungi masyarakat, bukan memperkuat kesewenang-wenangan. Tanggalnya sudah di depan mata: 18 November 2025. Kita harus menolak sebelum semuanya terlambat,” tulis Akun Instagram @sahabaticw, Selasa (18/11).

Berikut 18 alasan yang dikemukakan kelompok masyarakat sipil mengenai urgensi menolak pengesahan RKUHAP:

1. Minimnya Partisipasi Publik Dalam Penyusunan RKUHAP

Proses legislasi dinilai mengulangi pola buruk yang terburu-buru dan tidak transparan. Masyarakat hanya diminta memberi masukan secara formalitas, tanpa kejelasan apakah pandangan mereka benar-benar dipertimbangkan. Dokumen pembahasan usai draft 17 Juli 2025 pun tidak pernah dipublikasikan.

2. Bertentangan dengan Tuntutan Reformasi Kepolisian

Alih-alih membatasi kewenangan aparat, RKUHAP memperluas ruang diskresi yang dinilai rawan disalahgunakan dan memperlemah mekanisme pengawasan.

3. Penurunan Standar HAM

Rumusan pasal-pasal RKUHAP dianggap tidak sejalan dengan prinsip-prinsip perlindungan hak asasi yang diatur dalam berbagai konvensi internasional, termasuk terkait perempuan dan penyandang disabilitas.

4. Potensi Penjebakan oleh Aparat

Kewenangan undercover buy dan controlled delivery diperluas tanpa batasan yang jelas dan tanpa pengawasan hakim, sehingga membuka peluang entrapment.

5. Penangkapan dan Penahanan Tanpa Kejelasan di Tahap Penyelidikan

RKUHAP memungkinkan penangkapan, penggeledahan, hingga penahanan meski tindak pidana belum terkonfirmasi. Hal ini berbeda dengan KUHAP saat ini yang melarang upaya paksa di tahap tersebut.

6. Penangkapan–Penahanan Tanpa Pengawasan Hakim

Izin hakim tidak menjadi syarat mutlak. Skema baru dianggap mendorong aparat menghindari kontrol yudisial.

7. Penggeledahan, Penyitaan, Penyadapan Tanpa Izin Hakim

Aparat diberi ruang menggunakan alasan “mendesak” berdasarkan penilaian subjektif, termasuk melakukan penyadapan meski belum ada dasar hukum yang matang.

8. Potensi Pemerasan dan Penyalahgunaan Skema Restorative Justice

Kesepakatan damai bisa dilakukan bahkan saat belum dipastikan adanya tindak pidana. Pengawasan hakim terbatas sehingga membuka ruang pemaksaan.

9. Polisi Menguasai Koordinasi Semua Penyidik

Seluruh PPNS dan Penyidik Khusus ditempatkan di bawah koordinasi Polri, memperbesar risiko konsentrasi kekuasaan tanpa pengawasan memadai.

10. Pembatasan Akses Bantuan Hukum

Hak atas bantuan hukum hanya diberikan berdasarkan ancaman pidana. Selain itu, penyidik memiliki kewenangan menunjuk advokat, yang dinilai rentan digunakan untuk menekan tersangka agar melepas pendamping hukum.

11. Minimnya Perlindungan bagi Penyandang Disabilitas

Pasal-pasal yang ada dinilai masih bersifat diskriminatif dan tidak memastikan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas.

12. Hak Korban Salah Tangkap Dikurangi

Mekanisme ganti rugi dan rehabilitasi dibuat sangat terbatas hanya pada situasi tertentu, sehingga mempersempit kesempatan korban untuk memperoleh keadilan.

13. Adanya Perlakuan Istimewa bagi Hakim

Untuk menangkap hakim dibutuhkan izin khusus Ketua MA, sementara warga biasa tidak mendapatkan perlindungan serupa.

14. Kewenangan Komnas HAM Dikebiri

Penyelidikan pelanggaran HAM berat tetap berada di bawah koordinasi Polri, bertentangan dengan UU Pengadilan HAM.

15. Laporan Warga Berpotensi Diabaikan

Tidak ada kewajiban jelas bagi aparat untuk menindaklanjuti laporan, sehingga masalah undue delay tetap berlanjut.

16. Standar Pembuktian Tidak Jelas

Tidak ada perumusan yang tegas terkait kualitas dan relevansi bukti. Pengelolaan barang bukti juga belum memiliki standar yang memadai.

17. Impunitas Militer Dipertahankan

Mekanisme koneksitas tetap berlaku sehingga kasus yang melibatkan anggota TNI aktif rawan tidak diproses secara transparan.

18. Risiko Kekacauan Hukum Jika Diberlakukan Tanpa Masa Transisi

RUU KUHAP akan langsung berlaku 2 Januari 2026 tanpa masa adaptasi, sementara peraturan pelaksana belum tersedia. Hal ini dinilai berpotensi menciptakan kekacauan dalam praktik penegakan hukum.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain