Surabaya, Aktual.com — “Kami ini bonek mania… kami selalu dukung Persebaya… di mana kau berada di situ kami ada karena kami bonek mania…” Lama tak terdengar nyanyian itu oleh “arek wetan”, sebutan dari presenter lapangan almarhum Supangat kepada suporter sisi tribun timur Stadion Gelora 10 Nopember dan Gelora Bung Tomo Surabaya, markas Persebaya Surabaya.
Dulu, nyanyian itu terngiang hampir setiap akhir pekan, saat tim kebanggaan Kota Pahlawan berseragam hijau-hijau tampil di hadapan puluhan ribu suporternya yang tergabung dalam Bonek Mania.
Perlahan tapi pasti, gemuruh koor kompak mereka lenyap, bahkan nyaris tak terdengar sejak hiruk pikuk menghinggapi induk sepak bola Tanah Air, konflik internal Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) hingga akhirnya muncul Komite Penyelemat Sepakbola Indonesia (KPSI) yang berimbas bergulirnya dua liga.
Sejak saat itu sampai sekarang, kondisi tak jauh beda menyelimuti sepakbola Indonesia. Awan hitam seolah tak mau pergi dari atas hijaunya rumput puluhan stadion-stadion yang tersebar di berbagai kota di Indonesia.
Berbagai upaya dilakukan agar bola terus bergulir dan jala gawang tak berhenti terkoyak oleh sepakan maupun sundulan pesepakbola nasional.
Angin segar sempat mampir saat petinggi-petinggi PSSI menomorduakan ego dan bersatu demi tetap mengebulnya asap di dapur rumah tangga pemain, pelatih, serta ofisial tim.
Rumput yang sempat meninggi karena tak dipijak dan dijadikan arena adu lari, adu taktik dan adu ketangguhan oleh 22 pemain di lapangan mulai menghijau kembali.
Tapi itu tidak lama. Klimaksnya, PSSI pun dibekukan Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) karena tak akurnya pihak-pihak yang dinilai bertanggung jawab terhadap dunia sepak bola Tanah Air.
Imbasnya, kompetisi resmi, baik di strata tertinggi (LSI) dan divisi utama maupun divisi satu terhenti, mandeg, tak bergerak.
Nyanyian “arek wetan” kembali hilang, tribun timur kembali sunyi, hijaunya rumput-rumput stadion mulai pudar dan kembali meninggi, serta tak ada lagi sorak sorai pesta kemenangan maupun linangan air mata atas kekalahan tim kesayangannya.
Pada 30 Mei 2015, sepak bola Indonesia resmi dihukum FIFA, bahkan keanggotaan PSSI dicoret dari daftar FIFA karena dianggap telah melanggar pasal 13 dan 17 dalam statuta, yakni menyinggung soal intervensi pemerintah terhadap organisasi sepak bola dalam negeri.
FIFA baru akan mencabut hukuman itu jika PSSI dan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) RI sudah menyelesaikan masalahnya.
Salah satu pecinta sepakbola Indonesia, David Triadi, mengaku kecewa dengan kenyataan tersebut dan menilai hukuman FIFA menjadi bukti ketidakberesan segelintir orang yang lebih mengutamakan konflik demi kepentingan kelompok tertentu.
“Sebagai pecinta Liga Indonesia tentu kecewa. Tapi saya hanya orang biasa yang tak tahu harus bagaimana menanggapi fakta matinya Liga Indonesia,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Ardiansyah, warga Kenjeran Surabaya, yang berharap agar pertikaian antara pengurus PSSI dan Pemerintah segera berakhir, si kulit bundar kembali bergulir serta tontonan aksi-aksi pesepakbola bisa kembali disaksikan di layar kaca setiap sore akhir pekannya.
“Mau usul tapi mulainya dari mana? Mau protes juga siapa yang menanggapi? Pokoknya ini yang bisa menyelesaikan ya mereka-mereka itu sendiri,” ucap pria 30 tahun tersebut.
Turnamen Beruntun Tak ingin lama-lama melihat kursi tribun rapuh, cat putih mistar gawang mengelupas dan lampu stadion yang kekuatan sinarnya semakin berkurang, sejumlah turnamen sepak bola digulirkan.
Dimulainya turnamen Piala Kemerdekaan yang diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-70 RI menjadi asa dan memulangkan pemain-pemain beken seperti Firman Utina dan Evan Dimas mentas dari liga antarkampung (tarkam).
Sepakan bola “kick off” dari Presiden Joko Widodo menjadi pembuka Piala Kemerdekaan 2015 pada 15 Agustus 2015 di Stadion Maulana Yusuf, Serang, Banten.
Pada kesempatan itu, Gubernur Banten Rano Karno dalam sambutannya berharap turnamen Piala Kemerdekaan menjadi cikal bakal pemain-pemain muda Indonesia mencapai tataran prestasi lebih tinggi di bidang sepakbola.
“Ini merupakan simbol kesuksesan dari salah satu cabang olahraga yang sangat kita banggakan,” tutur mantan pemeran utama seri “Si Doel Anak Sekolahan” itu.
Menpora Imam Nahrawi menjelaskan turnamen yang diinisiasi oleh Tim Transisi itu merupakan komitmen pemerintah untuk terus menggulirkan pertandingan sepak bola di tengah konflik.
Piala Kemerdekaan diikuti 24 klub Divisi Utama itu terbagi dalam empat grup yakni Grup A di Medan, Grup B di Serang dan Cilegon, Grup C di Solo dan Bantul dan Grup D di Madiun.
Dua pekan berselang, kembali bola dari titik tengah disepak Joko Widodo menandai digulirkannya Piala Presiden, tepatnya 30 Agustus 2015 di di Stadion I Wayan Dipta, Gianyar, Bali.
“Turnamen sepak bola ini resmi saya buka sehingga ke depannya dapat bangkit dan mampu lebih baik lagi meskipun Indonesia terkena sanksi FIFA,” katanya di sela-sela sambutan pembukaan.
Kenyataan Indonesia tidak diperbolehkan berlaga di tingkat internasional, kata dia, hal tersebut harus dijadikan cambuk untuk merevitalisasi organisasi sepakbola di Indonesia agar lebih baik lagi.
Presiden berharap masyarakat mendukung revolusi sepakbola Indonesia agar mampu meraih prestasi di tingkat nasional, bahkan internasional.
Presiden Direktur PT Mahaka selaku penyelenggara sekaligus bos klub serie A Inter Milan Erick Thohir berharap kemajuaan persepakbolaan Indonesia dan meminta masyarakat mendukung penyelenggaraan Piala Presiden 2015.
Hasil akhir partai pembuka antara Bali United melawan Persija Jakarta bukan menjadi perhatian utama, sebab sorotan publik tertuju pada “mesranya” Menpora Imam Nahrawi dan Ketua PSSI KLB Surabaya La Nyalla Mattalitti di stadion.
Foto salam komando keduanya pun mewarnai halaman-halaman olahraga surat kabar seluruh Indonesia.
Tentu saja harapan masyarakat tak sekadar pamer kekompakan di balik sorotan lensa kamera, namun terus bergandengan tangan memajukan kancah sepak bola nasional.
Sebanyak 16 tim yang mayoritas berasal dari kontestan Liga Super Indonesia bertarung dalam format empat grup di empat kota, yaitu Bandung, Malang, Makassar dan Bali.
Kedua turnamen tersebut berakhir. PSMS Medan menjadi yang terkuat di ajang Piala Kemerdekaan setelah di partai puncak mengandaskan Persinga Ngawi dengan skor 2-1 di Stadion Gelora Bung Tomo Surabaya.
Sedangkan, sang juara Piala Presiden adalah “Tim Maung” Persib Bandung yang dipertandingkan final menaklukkan Sriwijaya FC dengan skor 2-0 di Stadion Gelora Bung Karno Jakarta.
Kini turnamen yang mengikutsertakan 15 tim terbaik di Indonesia kembali berputar, dengan titel turnamen Piala Jenderal Sudirman.
Tiga kota dipercaya menggelar turnamen yang pekan ini memasuki babak penyisihan, yakni di Bali, Malang dan Sidoarjo.
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo kali ini yang punya acara. Jenderal bintang empat tersebut menjadi pucuk tertinggi bakal suksesnya penyelenggaraan turnamen yang juga dibuka resmi oleh Presiden RI Joko Widodo di Malang, 10 November 2015.
“Harapan kami Indonesia mampu bangkit dan membangkitkan gairah sepak bola. Turnamen ini menjadi bukti kepedulian terhadap bola,” katanya kepada wartawan usai menyaksikan laga perdana PS TNI melawan Surabaya United di Sidoarjo.
Artikel ini ditulis oleh: