Maket PLTU Lontar dipajang dengan latar belakang pembangunan proyek PLTU Lontar unit 4 di Desa Lontar, Kecamatan Kemiri, Tangerang, Banten, Jumat (10/6). PLTU Lontar unit 1 - 4 dengan total kapasitas 4 x 315 MW tersebut siap mendukung program pemerintah untuk memenuhi kebutuhan listrik 35.000 MW, sementara PLTU Lontar unit 1 - 3 sudah beroperasi sejak tahun 2011 serta sudah masuk dalam jaringan kelistrikan Jawa - Bali. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/ama/16

Jakarta, Aktual.com – Perusahaan penyedia teknologi energi General Electric (GE) menilai langkah pemerintah untuk melakukan penundaan proyek ketenagalistrikan perlu dipertimbangkan dalam upaya menstabilkan nilai tukar rupiah.

“Kami hanya penyedia teknologi, bukan pengembang langsung. Tapi jangan sampai karena ada gangguan yang temporary (sementara), itu merusak program besar 35.000 MW,” kata Country Director GE Power Indonesia, David Hutagalung di Jakarta, Kamis (13/9).

Menurut David, program pembangkit listrik 35.000 MW merupakan program positif dan mendapat sorotan dunia. Seluruh pemangku kepentingan ketenagalistrikan tentu menyambut program tersebut karena memberi peluang dari sisi pendanaan, teknologi, hingga pengadaan dan konstruksinya.

“Ini momentum yang baik, jangan sampai confidence (keyakinan) yang ada hilang, takutnya (begitu),” katanya.

Perusahaan asal AS itu, lanjut David, juga berharap bisa diajak berkomunikasi dengan pemerintah terkait rencana kebijakan yang akan digulirkan sebagai upaya menjaga iklim investasi.

“Kalau boleh kami dari industri diajak diskusi. Semangatnya untuk memberikan pandangan,” ujarnya.

Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) juga menilai langkah pemerintah melakukan penundaan sejumlah proyek infrastruktur kelistrikan bukanlah solusi tepat untuk menstabilkan nilai tukar rupiah yang melemah.

Sekretaris Jenderal MKI Heru Dewanto mengatakan kondisi nilai tukar rupiah yang melemah bersifat hanya sementara, berbanding terbalik dengan proyek infrastruktur kelistrikan yang sifatnya jangka panjang.

“Fluktuasi rupiah ini kan sifatnya jangka pendek, jadi harus dicari solusi jangka pendek juga. Di sisi lain, pembangunan infrastruktur seperti pembangkit itu kan rencana, pengembangan sampai operasinya jangka panjang. Dampaknya bisa jangka panjang, misalnya kurangnya suplai listrik ke depan. Jadi saya pikir ini agak ‘mismatch’ (tidak cocok) antara masalah dengan solusi,” katanya.

Heru menilai, pemerintah perlu mempertimbangkan dengan matang langkah menunda proyek listrik lantaran dampaknya secara komersial terhadap perusahaan pengembang dan masyarakat yang menikmati listrik.

“Perlu dilihat dampak komersialnya. Kalau proyek sudah jalan, tidak berhenti. Ujung-ujungnya dampaknya nanti ke tarif,” katanya.

Ant.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan