Jakarta, Aktual.com – Pemerintah siap mendorong penggunaan produk hasil rekayasa genetika atau bioteknologi untuk upaya mencapai swasembada pangan. Peran bioteknologi dianggap penting. Mengingat tantangan peningkatan produksi makin besar, di saat lahan yang tersedia justru berkurang.

“Jadi sekarang ini kita dorong produktifitas tanaman per satuan lahan,” kata Staf Ahli Menteri Pertanian bidang Inovasi dan Teknologi, Mat Syukur di Jakarta, Selasa (19/4).

Saat membuka Perayaan 20 tahun Komersialisasi Global Tanaman Bioteknologi Hasil Rekayasa Genetika, Syukur mengakui untuk meningkatkan produktifitas tanaman banyak faktor yang mempengaruhi. Misalnya, input sarana produksi seperti pupuk dan benih, prasarana pertanian dan teknologi budidaya.

“Untuk itu dalam rangka program swasembada pangan, pemerintah akan mendorong penggunaan bioteknologi. Apalagi di negara lain sudah banyak yang menerapkan,” ujarnya.

Namun demikian, pihaknya menegaskan, pemerintah tetap memberlakukan sikap kehati-hatian dan selektif dalam penerapan produk hasil bioteknologi. Produk tersebut harus lulus uji keamanan lingkungan, pangan dan pakan. “Dalam mengadopsi produk bioteknologi, kami akan hati-hati. Kita harus bisa pastikan betul tidak berdampak buruk dalam jangka panjang,” katanya.

Pendiri sekaligus Ketua Dewan Emeritus Inte2rnational Service for the Acquisition of Agri Biotech Applictions, (ISAAA) Clive James menyatakan, banyak petani di negara berkembang menanam tanaman biotek karena menjadi salah satu pilihan untuk meningkatkan produktivitas tanaman.

Bahkan kini adopsi tanaman bioteknologi di negara berkembang terus mengalami pertumbuhan, hal itu terlihat di awal pengembangan tanaman bioteknologi pada 1996 hanya 1,7 juta ha, namun 2015 sudah mencapai 179,7 juta ha.

Peningkatan hampir 100 persen tersebut menurut Clive James, menjadikan bioteknologi sebagai teknologi bidang pertanian yang tercepat diadopsi. “Ini mencerminkan tingkat kepuasan petani terhadap manfaat dan keunggulan teknologi tanaman bioteknologi makin besar,” katanya.

Dalam empat tahun terakhir, negara-negara berkembang lebih banyak menanam bioteknologi yakni mencapai 14,5 juta hektare (ha) dibandingkan negara-negara maju. Pada tahun 2015, petani di Amerika Latin, Asia dan Afrika menanam tanaman bioteknologi sebanyak 54 persen dari luasan global tanaman bioteknologi atau 97,1 juta ha dari 179,7 juta ha.

“Dari 29 negara yang menanam tanaman biotek, 20 persen adalah negara berkembang,” katanya.

Data ISAAA juga mengungkapkan, setiap tahun sekitar 18 juta petani menanam tanaman bioteknologi. Dari jumlah itu 90 persen merupakan petani dengan sumberdaya kecil di negara-negara berkembang. “Petani hampir di 29 negara telah memperoleh keuntungan lebih dari 150 miliar dolar AS,” katanya.

Sementara itu Ketua Umum Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia (PBPI), Bambang Purwantara mengatakan, petani di Indonesia memang sudah menunggu lama produk hasil bioteknologi ini. Apalagi, lanjutnya, kini hampir 30 negara telah menanam tanaman bioteknologi dengan total luas areal hampir 130 juta hektare (ha).

Oleh karena itu, Bambang berharap, pemerintah segera mengeluarkan regulasi yang terkait keamanan pakan. “Saat ini Pedoman Pengkajian Keamanan Pakan sudah draf terakhir, kita masih menunggu tanda tangan pengesahan Menteri Pertanian,” ujarnya.

Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir mengatakan, posisi petani dalam menghadapi kemungkinan adopsi tanaman bioteknologi di Indonesia adalah sikap menunggu. “Kita sekarang ini menunggu, produk hasil teknologi itu bisa diterapkan petani,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara