Ia mencontohkan, terobosan hukum dalam berbagai sidang HAM ad hoc seperti Nurenberg, Tokyo, Rwanda dan Serbia, sudah cukup untuk dijadikan yurisprudensi.
Apalagi isu Rohingya bukan sekadar isu separatisme tetapi isu kemanusiaan, isu pembantaian umat manusia di era teknologi informasi, tegasnya.
Sementara itu, di Indonesia katanya, seharusnya para pembela mereka yang disebut sebagai korban persekusi beberapa waktu lalu harus sama lantangnya beteriak untuk menegakkan hukum-hukum kemanusiaan universal terhadap pembantaian di Myanmar.
Lupakan apa agama anda, abaikan apa agama masyarakat Rohingya, sempatkan diri untuk menonton video kekerasan di Rakhine, jika jujur pada hati nurani anda, tentu lah hati anda memberontak dan marah, karena mereka adalah manusia seperti anda, mereka dan kita semua.
Jika para pemimpin Myamar menolak masalah Rohingya sebagai masalah agama, maka jika ini dikatakan masalah kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan, seharusnya tidak dapat mereka bantah.
Apa yang hari ini terjadi di Myamar bukan sekedar sebagai pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang, tetapi juga pembantaian etnis (genocide).
“Ini sangat jelas sekaligus juga kejahatan terhadap kemanusiaan atau ‘crimes against humanity’,” kata dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum dan Pascasarjana Universitas Riau itu yang sering menulis disertasi dan buku tentang separatisme.
Ia menekankan bahwa yang termasuk dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan adalah perkosaan, perbudakan, pemusnahan, dan penganiayaan karena alasan potitis, rasial dan agama.
Berdasarkan Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa, kejahatan yang bisa dibawa ke peradilan Internasional adalah kejahatan perang (crimes agaist -war), kejahatan melawan kemanusiaan (crime against humanity), kejahatan terhadap Konvensi Jenewa tahun 1949, dan kejahatan melakukan agresi.
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid